Beranda Cerpen Kalimat Terakhir untuk Laela (Bagian 1)

Kalimat Terakhir untuk Laela (Bagian 1)

0
Esye Yusuf Lapimen

Oleh : Esye Yusuf Lapimen*

Laela

Di teras. Setelah membaca secarik kertas. Senyum Laela membekas. Jiwanya terasa lepas. Terbang mengangkasa setinggi-tingginya, melewati arak-arakan awan, jauh, tanpa ambang batas. Secarik kertas bertuliskan kalimat tegas. Tentang ungkapan rasa yang memanas.

Tentu saja itu bukan surat. Sebab, diberikan dengan jarak dekat. Kalimat-kalimat yang tertulis sangat sederhana, tetapi tergambar akurat. Sang penulis telah berhasil melukiskan hasratnya dengan kuat. Setelah dibaca, kertas itu dilipat. Digenggamnya dengan erat.

Laela beranjak menuju kamarnya. Ada hasrat ingin membalas kalimat-kalimat yang telah dituliskan untuknya. Tetapi, dia bingung bagaimana cara memulainya? Beberapa kata melewati benak, tetapi semua buruk untuknya. Dia ingin kata awal yang digunakan adalah, kata yang sangat mewakili rasanya. Dia berpikir sekuat-kuatnya. Berkhayal sejauh-jauhnya, mencari kata secocok-cocoknya.

Laela pasrah. Dia merasa kalah. Tetapi, segera ditepisnya jauh-jauh. Dia berdalih “Kalimat-kalimat itu sulit kubalas, sebab umurku terlampau jauh dengannya.”

Cimmeng

Matahari mulai bersinar secara perlahan. Cimmeng menurunkan hasil tangkapan. Di pinggir sungai telah banyak orang menunggu hasil dari luasnya lautan. Seperti biasa, setelah Cimmeng telah selesai menurunkan semua ikan. Ibunya, akan datang meladeni orang-orang yang menunggu, kepadanya ikan-ikan itu dilelang dengan berbagai penawaran.

Setelahnya, Cimmeng pulang ke rumah untuk mandi sebersih-bersihnya. Lalu, tidur senyenyak-nyenyaknya. Siang, dia akan ke sawah ataukah ke kebun membantu ayahnya. Dia bekerja seulet-uletnya. Sayangnya, Cimmeng tidak perdulikan jenjang pendidikannya.

Seharusnya, Cimmeng duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas. Hanya saja, setamat sekolah menengah pertama, dia harus menerima realitas. Bila hendak lanjut ke jenjang berikutnya, dia harus berangkat pagi buta menaiki angkutan pedesaan dengan gegas. Sebab, desanya tidak mempunyai sekolah menengah atas.

Apalagi keluarga Cimmeng, bukanlah keluarga yang berada. Mereka hanya keluarga nelayan yang biasa. Meski mereka punya tanah berupa kebun dan sawah yang selalu diurus dan dijaga. Sebenarnya, Bisa saja, salah satu tanah itu dijual kepada orang lain ataupun kepada sanak saudara. Lalu, uangnya dibelikan sepeda motor agar Cimmeng dapat bersekolah seperti anak lainnya. Itu tidak terjadi, karena Cimmeng sendiri yang menolaknya. Baginya, untuk apa dirinya bersekolah sejauh-jauhnya, tanpa tujuan sejelas-jelasnya. Lebih baik bekerja sebaik-baiknya, dengan hasil secukup-cukupnya. “Apalagi A sampai Z telah di kepala,” katanya.

Berbeda dengan Laela, keluarganya cukup terpandang. Ayahnya punya beras segudang. Urusannya lancar dengan uang. Keingingannya sulit terbendung. Hanya sadar bila tersandung. Saat pemilihan kepala desa, ayahnya menang.

Laela sendiri telah duduk dibangku kelas tiga sekolah menengah atas. Dia telah dibelikan sepeda motor agar ke sekolah dengan bebas. Tidak lagi berangkat pagi buta menaiki angkutan pedesaan dengan gegas. Di ruang kelas, Laela cerdas. Di luar kelas, laela periang, tidak pamer, dan berhati tegas.

Diam-diam Cimmeng menyukai Laela. Sering kali dia hendak mengajak Laela berbicara. Tetapi urat-urut mulutnya tiba-tiba kaku saat matanya bersua. Selanjutnya, sepasang matanya hanya asyik menikmati kulit sawo matang milik Laela. Hidung mancung milik Laela. Bulu mata lentik  milik Laela. Rambut tergerai milik Laela. Dan, senyuman milik Laela. Tetapi rasa jijik tumbuh di kepalanya. Sebab, dia hanya pecinta yang tidak mampu berkata.

Sering kali, dia ingin menuliskan kalimat-kalimat indah untuk mewakili ucapannya. Hal tersebut tidak pernah diwujudkan, sebab pekerjaan menyibukkannya.

Zakariah

Sebentar lagi Zakariah akan menyelesaikan kuliahnya. Dia akan pulang dengan nama baru, Zakariah sarjana sastra. Membawa kegembiraan untuk keluarganya. Tetapi, tidak untuk Cimmeng dan hatinya.

Sebab, lelaki itulah yang telah memantik api. Menghanguskan naluri. Lalu, semuanya berakhir sepi. Dari diri hingga hati. Sebenarnya hal itu telah lama terkubur mati. Semantara Cimmeng telah lama menyimpan luka itu dalam peti. Tetapi, jika lelaki itu kembali. Kedua lelaki itu akan menghidupkan kembali kematian untuk bertarung dengan belati.

Sebelum kedatangannya. Cimmeng harus segera berbicara dengan Laela selembut-lembutnya. Olehnya, dia harus berlatih mengolah suara sebaik-baiknya. Otot-otot rahang yang kaku harus seluwes-luwesnya. Agar tidak menghasilkan suara sekasar-kasarnya. Dan, Laela dapat paham seyakin-yakinnya. Lalu, dia akan bersorak segembira-gembiranya.

Akan tetapi, Cimmeng kalah selangkah. Saat suaranya sementara dia olah. Datanglah Zakariah. Meski hanya sehari, tetapi dia telah berulah. Zakariah mengajak Laela bertemu di jembatan gantung, saat sore sebelum matahari berlabuh. Dititipkannya secarik kertas bertulis kalimat indah. Lalu berpesan, “bacalah saat di rumah.” Laela tersenyum dan pipinya memerah.

Dari ujung sungai yang berbatasan dengan muara. Di perahu miliknya. Cimmeng melihatnya dengan kedua bola mata. Api telah meyala dalam dada.

Bersambung (1/2)

*) Penulis adalah Sastrawan Muda Muhammadiyah

 

Facebook Comments
ADVERTISEMENT