Beranda Mimbar Ide Perang Wacana, Demi Pembenaran atau Kebenaran ?

Perang Wacana, Demi Pembenaran atau Kebenaran ?

0

Oleh : Abdul Ghani*

Dalam menganalisis wacana yang sedang berkembanag, saya mengutip apa yang dikatakan joseph goebbels ‘If you repeat a lie often enough, people will belive it, and you will even come to belive it yourself. “kalau kau mengulang-ulang kebohongan, maka orang akan percaya kebohonganmu, bahkan kau akan termakan oleh kebohonganmu sendiri. Segala sesuatu yang kerap disampaikan berulang-ulang akan menjadi hal yang akrab untuk diterima, bukan karena ia layak sebagai sebuah kebenaran, sekalipun itu adalah kebohongan, karena begitu sering ditampilkan secara tak langsung merasuki alam bawah sadar yang terlibat untuk membentuk pola fikir dan berujung pada sikap.

Sadar atau tidak, paradigma kita dibesarkan dalam satu lingkaran tertutup yang selalu kita rawat, dalam dunia sosial media ada yang disebut filter bubble, ialah sebuah algoritma pencarian yang memungkinkan kita mendapat hanya dari yang kita suka, hari ini kita membuka chanel youtobe dari kelompok yang kita suka, maka dihari esok kita akan disugi kembali dengan konten yang lebih menarik dari sebelumnya yang seritme dengan kecenderungan kita. Secara tak langsung kita mendoktrin diri kita sendiri, sehingga kita gagal melihat sudut pandang satu sama lain. kalau itu adalah benih permusuhan, maka ia akan membesar mencari rival-rival baru dari luar dirinya, selama ada kelompok atau individu yang bertentangan dengan pola fikirnya maka itulah musuh yang layak untuk diserang bahkan ditumbangkan. Bagaimana bangunan persepsi ini bisa terjadi.?

karakter manusia yang cenderung menerima dan membenarkan apa saja yang cocok dg worldviewnya, sehingga dalam menilai segala sesuatu adalah berdasarkan suka atau tidak suka baru melahirkan sikap, padahal seharusnya sikap itu lahir kemudian melalui bangunan persepsi. Dari sini persepsi tidak lagi murni, ia sudah dirasuki kebencian.

Persoalan cadar dan celana cingkrang, saya tidak yakin bahwa mereka yang terusik oleh kelompok ini memberi penolakan dengan alasan ideal, sebaliknya yang Nampak adalah dalil demi dalil dikutip untuk pembenaran bukan demi kebenaran argument. Maka personal beliefnya telah berdampak pada kecelakaan berfikir. Ketidak sukaan mengakibatkan kecacatan yang fatal. Dimana fakta objektiv kalah berpengaruh untuk membentuk pandangan masyarakat dibandingkan tendensi emosi dan kelompok.

Mengukur nasionalisme dari gaya berpakean tidaklah tepat, dalam analisis wacana dapat disebut sebagai False connection, koneksi tak nyambung atau kesimpulan salah kaprah. Presiden meninjau lokasi bencana kenapa sepatu atau baju sederhananya yang dipublikasikan, harusnya cara mengatasi bencananyalah yang dipublikasi. Harusnya pemimpin dicitrakan karena kebijakan-kebijaka kepemimpinan, bukan individunya. Semangat nasionalisme dan pancasilais adalah sikap, sementara pakean adalah fashion seseorang, tak nyambung kalau cinta tanah air diukur dari gaya berpakean. Jangan sampai kita terjebak menjadi generasi dengan mental cacat, sudah Salah namun tak sadar akan kesalahannya, lalu menganggap dirinya paling benar.

Pernyataan berani tak semata-mata membuatmu benar, Dianggap aneh tidak berarti tidak benar, Susuatu yg tak dapat dijelaskan belum tentu betul-betul tak dapat diterangkan, Banyak hal yg terjadi karena kebetulan, kebetulan tak bisa digeneralkan

Kata nietche People don’t wont to hear the truth because they don’t want their ilussions destroyed “Mereka tak menyukai kebenaran karena mereka tak suka jika ilusi mereka dihancurkan”. Sorang jauh dari kebenaran maka semain benci ia terhadap orang yang bicara kebenaran, sebaliknya perkataan membual akan menjadi sangat dinikmati oleh mental pembual.

Makassar, 9 november 2019

*) Penulis adalah pengurus DPD IMM Sulsel

Facebook Comments