Beranda Mimbar Ide Dari Petambak, untuk Petambak

Dari Petambak, untuk Petambak

0

Oleh : Idham Malik*

Pada 11 Desember 2019, WWF-ID menyelenggarakan pelatihan di Kantor Camat Mattirosompe, Kab. Pinrang. Kegiatan ini diperuntukkan untuk para petambak udang Kec. Mattirosompe, yang saat itu hadir berjumlah 20-an, bersama beberapa penyuluh perikanan.

Dalam pertemuan ini, kita mengundang Pak Syarifuddin Zain dan Pak Waris Anugrah untuk berbagi pengalaman mereka sebagai petambak yang terbilang berhasil dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar untuk peningkatan produksi.

Pak Waris menjelaskan teknik budidaya udang sistem polikultur dengan pengembangan phronima, pakan alami berupa krustacea kecil. Pak Waris begitu senang berbagi, hingga detil-detilnya, menggunakan bahasa lokal/bugis Pinrang. Para petambak pun merespon, ada yang yakin, dan ada pula yang ragu. Tampaknya, benteng kesadarannya ditabrak. Soalnya produksi mereka begitu berbeda dengan produksi Pak Waris. Pak Waris bisa menghasilkan 1 ton/hektar/tahun, sedang mereka hanya mampu paling banyak 350 kg/hektar/tahun.

Beragam alasan pun keluar, ada yang bilang bahwa petambak di Mattirosompe, kekurangan sumber air tawar, sulit memperoleh benur yang bagus, dan lain-lain. Katanya, seandainya muara sungai bagus atau terdapat sumber air tawar yang lancar, produksi udang di Mattirosompe pasti bagus.

Tapi, ada juga petambak yang sudah sepuh mengatakan bahwa dari dulu produksi udang di sini memang sedikit, baik ketika saluran air baik maupun tidak. Hal ini berarti bahwa sejarah udang di kawasan ini memang rendah, hal ini bisa dikoreksi lagi ke depannya. Bedanya, dahulu, apalagi saat pemerintahan Bapak BJ. Habibie, harga udang bagus, sehingga momentum itulah yang terus membayang-bayangi petambak, tentang masa kejayaan yang singkat itu.

“Dulu, hanya tiga daerah yang tutup itu barnya Pare-Pare, petambak Mattirosompe, Suppa, dan Duampanua,” kata Jamal, petambak Pallameang, di salah satu pertemuan petambak.

Berdiskusi dengan petambak, kadang-kadang kita lengah, bahwa persoalan mereka itu ada di luar. Entah itu saluran, entah itu bibit, entah itu alat kualitas air, dan lain-lain. Padahal, kita perlu juga memeriksa, bahwa persoalan itu juga akibat dari tindakan mereka sendiri, bagaimanamereka memperlakukan tambaknya, jika tambak mereka tidak diperlakukan secara serius, wajar saja perbedaan hasil berbeda dengan petambak yang mengelola tambaknya dengan serius, dengan menambahkan inovasi-inovasi kecil.

Sedangkan Pak Syarifuddin banyak menjelaskan manfaat berbagai dedaunan ataupun batang tumbuhan untuk peningkatan kesehatan udang serta perbaikan kualitas air tambak. Bayangkan, Syarifuddin dapat memanfaatkan batang pisang, daun jambu biji, daun pepaya, daun kelor, daun ketapang, hingga daun nangka, dan daun-daun lainnya.

Dengan daun-daun itu, dapat menggantikan posisi antibiotik kimia, pupuk kimia, maupun pestisida kimia. Sehingga, budidaya udang dapat dihasilkan dengan cara-cara yang lebih sehat. Tentu, manfaatnya sangat besar bagi konsumen, yang sudah mulai ragu-ragu dengan kandungan bahan pangan yang disinyalir mengandung bahan kimia berbahaya dan lain-lain.

Beberapa petambak tertarik dengan pemanfaatan dedaunan tersebut untuk perbaikan kualitas air tambak. Saya pun memancingnya, agar segera dilakukan pertemuan lanjutan. Akhirnya disepakati pertemuan berikutnya pada pertengahan Januari 2020, berupa praktek lapang penggunaan bahan baku organik.

Pada hari itu, juga pada pertemuan dengan petambak Pallameang tanggal 15 Desember 2019, disepakati akan dilakukan pertemuan-pertemuan berikutnya, untuk membahas agenda yang lebih serius, seperti bagaimana mendorong perbaikan muara saluran air di Mattirosompe. Muara sungai barangkali dapat menjadi isu bersama, untuk menyatukan kembali petambak Mattirosompe, di samping itu, memberikan semangat kepada mereka untuk kembali memperbaiki manajemen budidaya udang di tambaknya masing-masing.

*) Penulis adalah Aquaculture Staff, WWF-Indonesia

Facebook Comments