Beranda Fajlurrahman Jurdi Prof. Soekarno: Mata Air Kearifan Itu Telah Tiada.

Prof. Soekarno: Mata Air Kearifan Itu Telah Tiada.

0

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Perawakannya kecil, rambutnya memutih karena usia yang mulai senja. Senyumnya selalu terukir manis, bahkan kadang bibirnya selalu basah, karena senyum ketulusan yang selalu terpancar di-wajahnya. Prof Soekarno Aburaera, seorang guru besar ilmu hukum, telah mendahului kita.

Berita kematian kadang seperti sambaran kilat, datang dan pergi begitu saja. Entah jatah siapa lagi besok atau lusa. Belakangan, kematian tak mengenal usia dan kondisi, jika waktunya tiba, tiba-tiba datang kabar, si “anu” telah tiada. Dan Kepergian Prof Soekarno adalah merupakan bagian dari peta jalan hidup setiap manusia, bahwa lahir dan mati, silih bergantinya siang dan malam, sehat dan sakit serta sirkulasi kaya dan miskin, adalah takdir kehidupan yang diatur sepenuhnya oleh Tuhan.

Di Fakultas hukum Prof Soekarno adalah dosen senior. Mengampu mata kuliah filsafat hukum dalam waktu yang lama. Beliau tipe dosen yang mengayomi, pelan-pelan dan meletakkan pemikiran mahasiswa pada perkakas-nya sendiri. Beliau sangat bijaksana memahami jalan pikiran anak muda, cara menanggapinya meskipun berbeda tak langsung menghakimi. Ada banyak cerita dari berbagai angkatan, betapa mereka cukup puas dengan cara beliau menghadapi mahasiswa.

Saya adalah salah satu yang Bengal di zaman kuliah. Biasa berdiskusi panjang hal-hal tak penting, bahkan saking tak pentingnya bikin banyak orang dongkol. Entah kenapa, saya menikmati diskusi panjang diakhir jam perkuliahan hingga menambah durasi waktu, sehingga menimbulkan kemarahan sebagian besar teman di kelas. Cara itu memang gak boleh dilakukan, karena tidak semua orang menyukainya, dan saya merasakan betapa rasa tak suka itu muncul disaat kelas mau bubar.

Beberapa kali saya mengambil kelas Almarhum. Jika tak puas di dalam kelas, saya kadang mencarinya keluar, lalu melanjutkan sisa yang tak selesai di kelas. Saya rasa tidak semua dosen senang diajak diskusi berkelanjutan, karena kesibukan mereka masing-masing. Prof Soekarno melayani mahasiswa Bengal seperti saya, layaknya melihat anaknya yang butuh pegangan diatas jalan setapak. Perlu dibimbing.

Suatu hari almarhum bertanya; “Jrul, kita anak IMM ya”, katanya.

“Iye Prof, Alhamdulillah”, kata saya.

“Saya juga IMM, Cuma angkatan senior sekali. Prof Abrar juga itu IMM Jrul”, katanya.

“Oh, iyekah prof, masya Allah”, jawab saya.

Saya pura-pura gak tau beliau orang Muhammadiyah agar percakapan makin lama. Saya tentu saja mendengar banyak pengalaman dan kearifan yang tak bisa dimaknai secara dangkal.

Setiap kali berpapasan, Almarhum selalu menanyakan kabar dan buku. “Apa lagi buku barunya Jrul”, Tanya suatu hari.

Atau kadang beliau bertanya; “apa perkembangan dinda?”. Semacam basa basi seorang guru, seorang ayah kepada anaknya. Belakangan banyak anak IMM silaturrahmi ke tempat beliau, meminta nasehat dan kadang-kadang juga meminta dana.

Prof Soekarno adalah guru yang mengajarkan tentang hidup tak perlu ambisi. Sederhana, tetapi anggun dalam akhlak. Ia menua seperti padi. Menunduk, merendah dan menghormat. Nada bicaranya selalu rendah, intonasinya sejuk, menandakan keinginan dunia nya berhenti.

Almarhum pergi dengan tenang, se-tenang caranya menghadapi mahasiswa Bengal seperti saya. Ia berjalan di atas altar yang lurus. Namanya bersih, tak ada gossip. Semua cerita tentangnya adalah kebaikan, kearifan dan kehormatan. Ia adalah guru. Yang selalu sederhana pembawaanya. Selamat jalan guru kami.

Makassar, 21 Februari 2022

*) Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments