Beranda Mimbar Ide Polemik Kampanye Pemilu 2024

Polemik Kampanye Pemilu 2024

0

Oleh: Taufik Hidayat, S.H.*

Kedaulatan rakyat diwujudkan salah satunya melalui pemilihan umum (Pemilu) sebagai instrumen kemerdekaan  bagi rakyat memilih pemimpin mengisi jabatan politik yang diperebutkan melalui Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu beradasarkan Pasal 22E ayat (1) haruslah diselenggarakan secara  langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Konstruksi Pasal 22E ayat (1) tersebut dibentuk secara kumulatif yang artinya dalam penyelenggaraan pemilu semua unsur dalam pasal 22E ayat (1) tersebut haruslah terpenuhi secara keseluruhan, tidak boleh hanya salah satunya. Konsekuensi asas penyelenggaraan tersebut pada seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu, termasuk masa kampanye atau pun sosialisai dan Pendidikan politik partai.

Kampanye diatur dalam Pasal 1 angka 35 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa kampanye merupakan kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk menyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Terkait dengan pelaksanaan kampanye berdasarkan tahapan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa kampanye dimulai pada 14 Oktober 2023-10 Februari 2024, artinya waktu kampanye hanya 75 hari, berbeda dengan Pemilu 2019 yang memiliki masa kampanye yang relatif Panjang yakni 6 bulan 21 hari.

Masa kampanye Pemilu 2024 yag relatif singkat ini, namun memberikan kesempatan pada partai politik untuk melaksanakan sosilisasi dan Pendidikan politik di internal partai. Menjadi permasalahan mendasar yakni bagaimana jika ada Peserta Pemilu yang melakukan kampanye berkedok sosialisasi dan Pendidikan politik diluar masa kampanye? Bagaimana KPU dan Bawaslu menangani hal ini? dan instrument apa yang akan digunakan? dan jika dibiarkan tentu hal ini akan mencederai asas penyelenggaraan Pemilu yang telah diamanatkan oleh konstitusi kepada penyelenggara.

Sementara dalam Pasal 25 Ayat (3) PKPU No 33 Tahun 2018, yang dilarang adalah menampilkan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik partai politik yang memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik. Larangan tersebut juga diatur secara kumulatif, artinya dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran jika semua unsur dalam Pasal 25 ayat (3) PKPU tersebut terpenuhi. tersebut tidak dapat diproses hukum karena terjadi diluar masa kampanye. Walau pun misalkan unsur pada Pasal 25 ayat (3) PKPU No 33 Tahun 2018 tersebut terpenuhi, namun berdasarkan Pasal 280 Ayat (1) huruf h dan j UU No 7/2017 melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye menggunakan tempat ibadah serta menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.Hal tersebut seperti yang terjadi di Sumenep dengan kedok berbagi amplop zakat, namun pada amplop tersebut terdapat logo partai politik, atau pun terdapat beberapa partai politik yang telah mulai menampilkan calon presidennya dengan dalih sosialisasi politik. Namun tindakan tersebut tidak dapat diproses hukum karena terjadi diluar masa kampanye. Tindakan kampanye berkedok sosilisasi tersebut atau money politik atau politik uang tidak dapat diproses karena terjadi diluar masa kampanye, ditambah lagi adanya syarat subyek hukum yang harus terpenuhi, hal ini semakin mempersulit menangkap para penjahat demokrasi.

Terdapat kekosongan hukum, namun bukan berarti kita diam terhadap tindakan yang secara nyata mereduksi demokrasi kita. Melihat persoalan tersebut, penyelenggara tentunya dituntut untuk memberikan solusi terhadap tindakan yang mencederai proses demokrasi yang seharusnya dijaga dan dirawat oleh peserta pemilu. persoalan tersebut nyata dan menjadi realitas, namun melihat penyelenggara (KPU dan BAWASLU) seperti macan ompong yang hanya bisa melihat kejahatan demokrasi ini terjadi.

Hal yang dapat dilakukan tentunya adalah memperbaiki pengaturan masa kampanye dengan memperluas pengaturan larangan masa kampanye juga berlaku pada kegiatan sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik, kemudian merevisi ketentuan kumulatif pada Pasal 25 Ayat (3) PKPU No 33 Tahun 2018 menjadi ketentuan alternatif. Dengan mengubah ketentuan kumulatif tersebut menjadi ketentuan alternatif, maka hal ini akan memberi ruang pada Penyelenggara untuk bertindak lebih luas untuk menegakkan penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai amanat konstitusi.

*) Penulis adalah Alumni Hukum Tata Negara FH Unhas & Kader IMM Unhas

Facebook Comments
ADVERTISEMENT