Beranda Kampus Sesajen Modern: Degradasi Hutan dan Erosi Kearifan Lokal Masyarakat Adat

Sesajen Modern: Degradasi Hutan dan Erosi Kearifan Lokal Masyarakat Adat

0
Engki Fatiawan
Engki Fatiawan

Oleh: Engki Fatiawan*

Terjadinya penguasaan hutan oleh negara di wilayah adat menjadi gangguan tersendiri bagi masyarakat adat. Penetapan kawasan hutan yang dimaksudkan untuk melindungi hutan dari pembalakan liar ternyata mengganggu masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan yang ada di wilayah adatnya. Sehingga perlawanan terhadap penetapan kawasan ini tetap dilakukan meski kawasan hutan tersebut sudah ditetapkan.

Salah satu lokasi yang pernah di teliti oleh penulis pada tahun 2023, yakni di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat terdapat daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan namun, masyarakat adat menanam kelapa sawit, berladang, dan bermukim di dalam kawasan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan dan kekecewaan masyarakat adat terhadap pemerintah karena kawasan ditetapkan tanpa sepengetahuan mereka. Alih-alih keluar dari kawasan hutan mereka justru tetap melanjutkan kegiatan sehari-hari pada kawasan tersebut.

Ini bukan karena mereka tidak mau mematuhi aturan akan tetapi, mereka tidak memiliki pilihan lain untuk tinggal dan mencari kehidupan. Masyarakat Adat di Kalimantan Barat juga banyak yang berada dalam area hak guna usaha perkebunan sawit milik korporasi. Sehingga ruang hidup masyarakat adat dihimpit oleh penetapan kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit.

ADVERTISEMENT

Masyarakat adat memilih untuk tinggal di area hutan karena lahan yang layak untuk pemukiman berada di luar area tersebut sudah masuk dalam area HGU. Invasi HGU ke tanah milik masyarakat adat sangat mudah karena masyarakat adat tidak memiliki bukti administratif atas kepemilikan tanah dan hutan. Narasi yang mereka bawa hanya menyampaikan bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik nenek moyang mereka tanpa ada bukti secara administratif dan batas-batas yang jelas yang bisa dipertanggung jawabkan di hadapan hukum.

Ruang hidup yang semakin sempit menjadi ironi bagi masyarakat adat. Bagi mereka hutan adalah segalanya, hutan memberikan kehidupan, dan hutan sebagai tempat tinggal bagi arwah nenek moyang mereka. Hampir semua masyarakat adat di dunia secara substantif bergantung pada hutan dan tanah sehingga kesakralan hutan dan tanah sangat dijunjung tinggi dengan menganggap tanah sebagai ibu. Tanah bereproduksi menghasilkan berbagai macam tumbuhan yang dapat mereka konsumsi, obat-obatan, dan sumber papan.

Antara tanah, hutan, dan masyarakat adat adalah komponen yang tidak dapat dipisahkan. Padanya ada nilai-nilai kearifan yang lahir dan dijunjung tinggi. Padanya pula ada nilai kebersamaan dan hak komunal yang harus dilindungi.

Dampak terdegradasinya hutan dan tanah bukan hanya berpengaruh terhadap lingkungan fisik, tetapi juga berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat dalam kehidupan sosial dan ekonominya. Pergeseran budaya gotong royong dan kearifan sosial lainnya akan mulai terlihat seiring dengan berkurangnya luas hutan masyarakat adat. Hal ini terjadi karena semakin berkurangnya sumber penghidupan yang disediakan oleh alam dan kesakralan hutan semakin terdegradasi.

Tidak ada lagi nilai spiritual dan ketakutan terhadap hutan dan tanah. Semua dipandang oleh mata superior manusia bahwa segala apa yang ada di luar diri manusia adalah benda-benda yang disediakan untuk manusia. Paradigma atroposentrisme ini telah melihat bahwa tanah sekedar benda mati dan tak lain hanyalah geologi yang tidak ada kehidupan. Padahal sesungguhnya tanah dan hutan harus dipandang sebagai biologi karena di dalamnya terdapat banyak biodiversity.

Pergeseran paradigma itu telah mengubah sesajen yang mengorbankan sebagian dari ternak dan hasil ladang berupa ayam, telur, dan beras ketan menjadi sesajen modern yang mengorbankan manusia. Dalam hal tersebut masyarakat adat menjadi korban dari sesajen modern itu. Bentuk pengorbanan cukup besar karena kehilangan ruang hidup dan potensi korban bencana. Selain itu, sesajen modern juga menghilangkan kearifan lokal dan identitas kelokalan masyarakat adat.

Di Sulawesi Selatan, hutan masyarakat adat diakui oleh pemerintah dalam skema perhutanan sosial dan diberi SK Hutan Adat. Skema ini banyak didapati di masyarakat adat yang ada di Kabupaten Enrekang dan di Kabupaten Bulukumba. Hal itu perlu diapresiasi sebagai bentuk perlindungan hutan masyarakat adat.

Akan tetapi, perlu diantisipasi jangan sampai hutan-hutan tersebut akan lebih mudah untuk dialihkan dan diberikan hak pengelolaan baik itu izin usaha pertambangan ataupun pengelolaan hasil hutan yang tidak dimanfaatkan sepenuhnya bagi masyarakat adat. Jika itu terjadi lebih baik hutan itu tetap sebagai hutan dan tidak boleh kelola karena memang hutan sebagai pelindung untuk area yang ada di bawahnya.

Maka dari itu, hutan sangat memiliki peran penting baik untuk perlindungan ekologi maupun perlindungan bagi kearifan lokal masyarakat adat. Hutan yang terus berkurang juga akan terus menggerus kearifan lokal masyarakat adat baik dari segi nilai-nilai budaya hingga nilai spiritual bahkan sumber penghidupan mereka. Hal itu dikarenakan masyarakat adat bergantung pada sumber daya alam yang mereka miliki.

*) Penulis adalah Peneliti Tanah Adat & Ketua Korkom IMM Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT