Beranda Mimbar Ide KUASA TAHTA

KUASA TAHTA

0
Ilustrasi Tahta- Pendoasian.wordpress.com

Oleh : Mattewakkan*

Power is the ultimate aphrodisiac.

Begitu kata Henry Kissinger. Kekuasaan memang menggoda. Ia bisa menarik orang-orang mendekat, bukan hanya mereka yang berjuang sejak awal, tetapi juga yang dulu menunggu di pinggiran.

Pilkada selesai. Pemenang sudah ditetapkan. Babak baru dimulai. Saat euforia mereda, ritme kekuasaan semakin cepat. Semua bergerak. Semua ingin tetap berada dalam lingkaran pengaruh.

ADVERTISEMENT

Bukan hanya tim sukses. Yang dulu di pinggiran kini bermunculan. Ada yang diam-diam berkontribusi. Ada yang menjaga jarak tapi tetap mencatat peluang. Kini, semua merapat. Sebagian membawa daftar nama. Sebagian menawarkan konsep. Ada pula yang hanya mengandalkan kedekatan personal. Ada yang datang dengan strategi matang. Ada juga yang sekadar berharap mendapat bagian tanpa usaha nyata.

Politik pasca-pelantikan seperti bazaar takjil Ramadhan di Jalan Mappanyukki. Riuh. Ada yang menjajakan gagasan. Ada yang berbisik menawarkan kesepakatan. Ada yang mencari celah agar bisa masuk ke lingkaran kekuasaan.

Tim sukses kini masuk ke fase berikutnya: mengamankan posisi. “Ini orang kita. Sudah teruji,” begitu kira-kira. Loyalitas harus berbuah posisi.

Figur-figur baru mulai bermunculan. Ada yang membawa perspektif segar. Ada yang menawarkan jaringan luas sebagai modal. Tak sedikit yang sekadar mencari celah agar tetap bertahan dalam lingkup kekuasaan. Semua ingin masuk. Tidak ada yang rela hanya jadi penonton.

Salahkah? Tergantung sudut pandang.

Pemimpin butuh tim yang bisa dipercaya. Jika semua berjalan sesuai aturan, tanpa transaksi murahan, dan yang dipilih memang kompeten, tidak ada yang perlu dipersoalkan. Tapi jika semua hanya soal balas jasa, ini bukan pemerintahan. Ini sekadar bagi-bagi kue kekuasaan.

Di hadapan pemimpin baru, tumpukan nama menggunung. Ada yang datang dengan rekomendasi kuat. Ada yang bermodal hubungan dekat.

Inilah ujian pertama.

Jika ia memilih berdasarkan visi dan kapasitas, pemerintahannya akan melaju dengan baik. Jika tidak, gerbong itu hanya berputar di tempat—atau malah anjlok keluar jalur.

Kekuasaan bukan cuma soal siapa yang duduk di kursi tertinggi. Tapi bagaimana ia dijalankan. Apakah jadi alat membangun atau sekadar kendaraan pribadi? Apakah menggerakkan perubahan atau malah tersandera kepentingan?

Pilkada sudah selesai. Tapi politik? Tak pernah benar-benar usai.

Kini, pilihan ada di tangan pemimpin: membangun pemerintahan yang kuat, atau menjadi tawanan kepentingan. *

Makassar, 6 Maret 2025

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT