Beranda Literasi Puasa Sebagai Jalan Mencapai Ketakwaan Ekologis

Puasa Sebagai Jalan Mencapai Ketakwaan Ekologis

0
Engki Fatiawan*

Oleh: Engki Fatiawan*

Perintah puasa di bulan ramadan adalah perintah bagi umat islam seluruh dunia. Kewajiban puasa di bulan ramadan telah tertuang dalam ayat Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183. Ayat tersebut telah jelas menerangkan bahwa orang-orang beriman mendapat perintah untuk melaksanakan puasa. Jelas pula di ayat tersebut tujuan dari perintah puasa yakni untuk mencapai derajat takwa.

Narasi terkait perintah puasa tersebut sudah berulang-ulang disampaikan baik melalui mimbar-mimbar masjid ataupun melalui pengkajian oleh majelis-majelis ormas islam. Penyampaian narasi perintah puasa itu dilakukan sebagai cara untuk mengingatkan kembali tentang pentingnya melaksanakan perintah tersebut di bulan ramadan. Hal ini tentu akan meningkatkan derajat pengetahuan dan iman bagi seseorang untuk menjalankan ibadah puasa ramadan selama satu bulan.

Selama ini kebanyakan narasi puasa hanya disampaikan dari tiga dimensi puasa yaitu dimensi ritual, spiritual, dan sosial. Ketiga dimensi itulah yang kerap dielaborasi untuk memaknai puasa dan efek dari melaksanakan puasa itu. Sementara ada dimensi lain yang sering luput untuk disampaikan yakni dimensi ekologi.

ADVERTISEMENT

Mengutip jurnal dari Kementerian Agama Republik Indonesia, pengertian puasa secara etimologis berasal dari kata “As-shaum” yang secara harfiah puasa memiliki arti menahan diri dari melakukan suatu tindakan. Namun, menurut ajaran agama Islam, puasa merujuk pada menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan diiringi niat dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, puasa juga berarti menahan diri dari makan dan minum, mengendalikan hawa nafsu, serta menahan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna atau yang dilarang.

Puasa dalam arti menahan diri dalam melakukan sesuatu bukan hanya dapat dikontekskan menahan diri dari makan dan minum akan tetapi, menahan diri yang juga dimaksudkan untuk menahan segala bentuk nafsu atau hasrat yang dapat merugikan diri, orang lain, dan alam. Dari dimensi ekologi puasa mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia di bumi. Saat sedang berpuasa menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari pada dasarnya mengurangi produksi makanan dan sampah dari sisa produksi makanan atau kemasan makanan.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024, hasil input dari 287 kabupaten/kota se-Indonesia menyebutkan jumlah timbulan sampah nasional mencapai 31,3 juta ton sampah. Terdapat 59,79 persen sampah terkelola dan 40,21 persen atau 12,5 ton/tahun sampah tidak terkelola. Jenis sampah yang paling banyak yaitu sampah sisa makanan diikuti oleh sampah plastik.

Lalu bagaimana dengan produksi sampah pada saat bulan puasa? apakah terjadi penurunan produksi sampah karena menahan diri untuk makan dan minum pada saat siang hari. Faktanya pada saat bulan ramadan sampah meningkat 5% – 20% atau berdasarkan data KLHK peningkatan sampah dapat mencapai 100 – 200 ton. Hal ini sebenarnya menjadi ironi karena sepatutnya puasa juga mengajarkan untuk tidak berlebihan termasuk melarang agar sisa makanan tidak terbuang begitu saja.

Selain itu, pada saat bulan ramadan terjadi peningkatan penjual musiman khususnya penjual yang menyediakan menu berbuka puasa. Tak ayal kebanyakan kemasan yang digunakan oleh penjual masih menggunakan kemasan plastik sehingga hal ini menjadi penyumbang peningkatan sampah plastik. Hal itu tidak dapat dihindari oleh masyarakat karena untuk saat ini tidak ada pilihan yang dapat digunakan serta masih kurangnya pemahaman dari masyarakat.

Selain dari permasalahan sampah, masalah lain yang paling besar dampaknya yaitu pengurangan luas areal hutan. Pengurangan luas areal hutan ini disebabkan karena kebakaran dan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, lahan industri perkebunan, dan kawasan industri ekstraktif. Akhirnya, berdampak pada wilayah sekitar sehingga menimbulkan perubahan iklim serta bencana berupa banjir dan bencana hidrometeorologi lainnya.

Penyebab utama sehingga timbulnya kerusakan lingkungan yaitu manusia yang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang berlebihan. Hal itu didasari oleh kurangnya daya tahan diri terhadap keinginan baik itu keinginan dalam mencapai kekayaan ekonomi yang berlebih ataupun keinginan dalam mencapai kekuasaan yang berkelanjutan. Tidak mampunya menahan diri atas segala keinginan itu pada dasarnya tidak menerapkan hikmah puasa. Mereka hanya berpuasa sebatas menahan lapar dan dahaga saja.

Oleh karena itu, puasa tidak hanya dimaknai dari dimensi ritual, spiritual, dan sosial. Tetapi, puasa juga harus mampu dimaknai dari dimensi ekologis. Dengan melakukan puasa kesadaran terhadap ekologis harus meningkat sebagaimana meningkatnya ketiga dimensi puasa lainnya. Jika kesadaran ekologis tidak meningkat maka tujuan dari puasa belum tercapai dengan baik. Hikmah puasa harus sampai pada tingkat kesadaran menjaga lingkungan sehingga tercapai derajat ketakwaan ekologis. Sementara takwa dimanifestasikan dalam ibadah puasa, sebab orang yang menjalankan puasa mampu meninggalkan segala larangan, termasuk larangan untuk merusak tanah dan air.

*) Penulis adalah Pengurus Sarekat Hijau Indonesia & Ketua Korkom IMM Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT