Beranda Literasi Jam Malam Pelajar: Melindungi atau Membatasi

Jam Malam Pelajar: Melindungi atau Membatasi

0

Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, SH., MH.*

Di malam hari, jalanan tak hanya milik orang dewasa. Remaja yang masih berseragam sekolah, kadang lengkap, kadang hanya menyisakan celana bahan dan kaos oblong berkeliaran di warung kopi, taman kota, atau sekadar nongkrong di pinggir jalan.

Mereka bukan sedang pulang dari belajar tambahan. Mereka sedang mencari udara, atau sekadar lari dari rumah yang terasa sumpek. Tapi seperti yang kita tahu, malam bukan ruang yang netral. Ia punya reputasi buruk sejak masa lampau. Dosa-dosa kecil tumbuh di sana. Dan kadang, dosa besar pun lahir dari gelap yang sama.

Mungkin itulah yang mendasari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan surat edaran yang menetapkan jam malam bagi pelajar. Mulai pukul sembilan malam sampai pukul empat pagi, pelajar dilarang berada di luar rumah, kecuali dalam berbagai hal yang sudah dirinci: kegiatan resmi sekolah, ibadah yang diawasi orang tua, keadaan darurat, atau memang sedang bersama orang tua. Tujuannya sederhana: melindungi anak-anak dari bahaya di luar sana.

ADVERTISEMENT

Kebijakan ini tentu saja mengundang debat. Ada yang memuji sebagai bentuk perhatian negara. Tapi tak sedikit pula yang menyindir: bukankah rumah juga kadang jadi tempat bahaya itu berasal? Pertanyaan yang valid. Tapi tak serta-merta membatalkan raison d’être di balik aturan ini.

Negara tetap punya tanggung jawab, baik secara hukum maupun moral untuk melindungi kelompok rentan. Anak-anak termasuk di dalamnya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, negara bahkan diberi mandat khusus untuk menjamin keselamatan dan tumbuh kembang anak. Dan gubernur, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, diberi wewenang untuk menjaga ketertiban umum di wilayahnya. Jadi secara konstitusional, Dedi Mulyadi tidak sedang berjalan di luar jalur.

Melacak Logika di Balik Jam Malam

Tapi seberapa genting sebenarnya situasi Jawa Barat sampai perlu pembatasan jam malam?
Mari lihat data. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mencatat 12.345 kasus kenakalan anak sepanjang tahun 2020, lalu 11.567 kasus di tahun 2021, dan 10.890 kasus di tahun 2020. Jenisnya macam-macam: tawuran di angka 35 persen, kenakalan seksual 20 persen, narkoba 25 persen, dan tindak kriminal lainnya 20 persen. Di Indramayu saja, 1.415 kasus kriminal terjadi tahun lalu. Angka yang tak main-main.

Dan itu baru sebagian. Di Bandung, fenomena geng motor remaja tumbuh seperti jamur di musim hujan. Mereka tak hanya berkelompok, tapi membentuk identitas, punya nama, simbol, bahkan akun media sosial. Tak jarang, aksi mereka direkam dan diunggah, seperti prestasi yang harus dipamerkan.

Mereka konvoi tengah malam, memekakkan jalan dengan knalpot bising, sesekali menyerang warga atau kelompok lain. Ironisnya, tak sedikit dari mereka yang membawa senjata tajam: celurit, pisau lipat, bahkan samurai rakitan.

Sebagian besar kasus di atas terjadi di luar rumah, dan banyak yang berlangsung di malam hari, di sela-sela kelengahan. Ini bukan asumsi kosong. Dalam kriminologi, ada satu teori klasik yang masih relevan: teori aktivitas rutin dari Cohen dan Felson.

Teori ini mengatakan bahwa kejahatan terjadi kalau ada tiga unsur yang bertemu di satu waktu dan tempat: pelaku, target, dan tidak adanya pengawas. Malam hari memperbesar peluang pertemuan itu. Pelaku berkeliaran, target rentan, dan pengawas, entah itu orang tua atau polisi, jauh dari jangkauan. Pada konteks ini, pembatasan jam malam bisa memotong rantai itu.

Pertanyaannya, apakah ini bekerja? Data dari Amerika Serikat tiga dekade silam memberi gambaran. Laporan dari OJJDP (Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention) menunjukkan bahwa di kota-kota yang menerapkan jam malam, terjadi penurunan 29 persen dalam penangkapan remaja di malam hari dan penurunan 85 persen pada korban remaja dalam kejahatan kekerasan.

Tak semua bisa dibandingkan langsung, tentu. Apalagi perihal waktu penelitian yang terlampau jauh. Tapi angka ini cukup memberi harapan bahwa pembatasan jam malam berperan dengan signifikan.

Rumah yang Layak untuk Pulang

Jam malam tentu saja bukan obat tunggal. Seperti parasetamol yang menurunkan demam, tapi tak menyembuhkan infeksi. Jam malam hanya meredam gejala. Akar masalah tetap harus dicari dan diobati. Rumah yang berfungsi, sekolah yang peduli, dan lingkungan yang mendukung, jauh lebih ampuh menjaga anak-anak dibanding patroli aparat setiap malam. Karena pelindung terbaik anak bukan polisi, tentara, maupun satpol, tapi keluarga dan komunitasnya.

Anak-anak tidak hanya butuh dijaga dari luar. Mereka juga perlu ruang di dalam. Ruang untuk berekspresi, menyalurkan energi, dan merasa berarti. Maka jika negara ingin mereka di rumah, negara juga perlu memikirkan apa yang bisa membuat rumah layak ditinggali.

Sediakan kegiatan sore dan malam di masing-masing wilayah setingkat RT, buka ruang kreatif, gelar kompetisi olahraga, perbanyak pendidikan nonformal gratis, beri ruang bermain yang aman. Karena jika tidak, kita hanya memindahkan mereka dari jalan ke kamar. Dan mungkin, ke layar ponsel yang lebih gelap dari malam.

Langkah Dedi Mulyadi bisa jadi awal yang baik. Tapi langkah awal bukan berarti garis akhir. Ia perlu dilanjutkan dengan kebijakan yang menyentuh jantung persoalan: relasi keluarga, ekosistem sosial, dan kebutuhan ekspresi anak. Jangan sampai anak-anak hanya dilarang, tapi tak diarahkan. Dibatasi, tapi tak dituntun.

Malam memang berbahaya. Tapi anak-anak juga tak bisa terus disembunyikan dari dunia. Kita perlu menjaga, tapi tanpa memenjarakan mereka.

*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar

Facebook Comments Box