Beranda Literasi Dua Ton Narkoba: Titik Nadir Golden Tiangle dan Destination Country

Dua Ton Narkoba: Titik Nadir Golden Tiangle dan Destination Country

0
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*

Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*

Dua ton sabu. Bukan dua kilogram. Dua ton. Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah dentuman. Di perairan Kepulauan Riau, dua ton sabu disita dari jaringan lintas negara. Jejaknya tercium sampai ke Thailand dan Myanmar, dua simpul utama kawasan Golden Triangle.

The Golden Triangle memang nama lawas. Tapi efeknya masih membuat was-was. Ini bukan hanya penemuan besar, melainkan pertanda. Rekor, ya. Tapi juga peringatan. Kalau dua ton bisa masuk dari satu titik, lantas berapa banyak yang telah melenggang dari pintu lain tanpa sempat terendus?

Bayangkan saja, satu kilogram sabu bisa dipecah menjadi ribuan dosis. Dua ton berarti jutaan. Indonesia, dengan penduduk 270 juta jiwa dan sistem yang masih dalam perbaikan, adalah pasar yang menjanjikan. Pasar tentu tidak peduli siapa kita. Ia hanya peduli pada potensi. Dan potensi itu, dalam konteks narkoba, bisa berarti peluang.

ADVERTISEMENT

Golden Triangle dan Jejak Kejahatan Terorganisir

Penamaan Golden Triangle memang terdengar eksotis. Tapi di balik itu, ini adalah wilayah rawan. Myanmar, Laos, dan Thailand: tiga negara yang perbukitannya lebih cocok ditanami opium ketimbang padi. Sejak 1970-an, kawasan ini dikenal sebagai salah satu sentra narkotika terbesar dunia. Dulu ladang opium, kini laboratorium sabu-sabu. Hanya sekadar penyesuaian zaman.

Laporan UNODC tahun 2024 mencatat bahwa limbah kimia dari produksi metamfetamin di kawasan ini bisa mencapai ribuan ton setiap tahun. Sebuah indikasi akan skala produksi yang sangat besar dan terus bertumbuh. Laboratorium gelap (clandestine laboratories) disamarkan seperti pabrik makanan atau bahan kimia.

Mereka tidak dijaga oleh preman jalanan, melainkan kelompok bersenjata, milisi yang tak jarang memiliki keterkaitan dengan konflik politik dan etnis di wilayah setempat. Negara asalnya pun belum sepenuhnya mampu berkomitmen untuk memerangi jaringan ini.

Dalam kriminologi, fenomena ini dikenal sebagai organized transnational crime, kejahatan lintas negara yang tersusun sistematis. Salah satu pendekatan yang relevan adalah Enterprise Theory of Organized Crime, diperkenalkan oleh kriminolog Jay S. Albanese.

Teori ini memandang kejahatan terorganisir sebagai entitas yang berjalan layaknya perusahaan: memiliki struktur organisasi, pembagian peran, kalkulasi risiko, dan adaptasi terhadap dinamika pasar. Dalam konteks Golden Triangle, Albanese seakan mengultimatum: yang kalian hadapi bukan pelintas batas sporadis, tapi pelintas dengan struktur ekonomi yang memang canggih, mapan, strategik, bermodal besar, dan berjejaring luas.

Pasar yang Menggoda

Indonesia sebagai “destination country” tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada jalur, ada jaringan, ada permintaan. Inilah simpul berikutnya dari persoalan besar yang dihadapi.

Distribusinya? Mereka tahu celah di banyak titik. Jalur laut adalah favorit. Lewat pelabuhan kecil, sungai, hingga kontainer dengan kemasan serupa bungkusan teh. Khas jaringan Golden Triangle. Kadang melintas lewat Aceh, kadang nyangkut di sekitar Pontianak, lalu terkirim ke Jakarta dan sejumlah kota metropolitan. Rapi. Cepat. Nyaris tanpa jejak.

Di kota-kota besar, pengedar bukan lagi berjaket lusuh. Mereka seperti pekerja start-up: pakaiannya bersih, sistemnya digital, dan geraknya gesit. Tanpa sentuhan emosi. Hanya logika transaksi.

Dan pasar kita? BNN mencatat lebih dari 4,8 juta pengguna narkotika. Yang terdata. Yang tidak? Kita tahu jawabannya. Seperti gunung es.

Tapi relasi semacam ini bukan hanya kita Di Amerika Latin, kokain dari Kolombia mengalir lewat Meksiko ke Amerika Serikat. Di Eropa, heroin dari Afghanistan melintas lewat jalur Balkan. Narkotika telah lama menjadi global crime enterprise. Berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain seperti komoditas perdagangan global. Bedanya: ini komoditas yang merusak.

Satu Visi, Satu Identitas, Satu Komunitas

Fenomena di atas tak bisa dihadapi secara unilateral. Karena jaringannya lintas negara, maka responsnya pun tak boleh berhenti di batas negara. Di sinilah peran kawasan menjadi krusial. Terutama kawasan yang kita huni bersama: ASEAN.

ASEAN bukan sekadar forum diskusi dan foto bersama. Di atas kertas, ia punya semboyan mulia: Satu Visi, Satu Identitas, Satu Komunitas. Pasal 1 angka 12 Piagam ASEAN bahkan menyebutkan salah satu tujuannya adalah menciptakan kawasan bebas narkotika. Tapi cita-cita tak cukup ditulis. Ia menuntut kerja. Dan kerja itu tak bisa ditunda.

Memang sudah ada ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs, sudah ada pertemuan-pertemuan menteri, bahkan joint operations yang kadang dilaksanakan. Tapi sindikat narkotika tidak menunggu work plan. Mereka tak pernah absen rapat. Tak pernah izin cuti. Mereka bekerja diam-diam, lintas batas, dan real-time.

Kalau ASEAN ingin relevan, isu narkotika tak boleh hanya jadi paragraf dalam konferensi pers. Harus jadi agenda utama. Kita butuh sistem intelijen bersama, patroli perbatasan terintegrasi, berbagi data kejahatan lintas negara. Kita butuh kemauan politik yang menyala seterang bahaya yang kita hadapi.

Karena ini bukan sekadar soal hukum. Ini soal kedaulatan. Bukan cuma kedaulatan wilayah, tapi kedaulatan sosial. Hak rakyat untuk hidup tanpa diburu racun. Hak anak-anak untuk tumbuh tanpa candu. Hak ibu untuk tidak menangisi anaknya yang mati karena sebutir pil.

Maka bukan waktunya lagi menunda. Dua ton sabu menuntut kita keluar dari keterkejutan menuju ketegasan. Menuntut kita menjadikan kedaulatan bukan sebagai jargon, tapi sebagai tanggung jawab bersama.

Demi Indonesia yang berdaulat atas tubuh dan pikirannya. Demi ASEAN yang bukan sekadar kawasan ekonomi, tapi juga kawasan yang waras, sadar, dan berani melindungi generasinya dari racun bernama narkoba.

*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar

Facebook Comments Box