Oleh: Rismawati Nur*
“Kita harus ingat bahwa judicial review bukanlah instrumen untuk menggagalkan kerja keras legislatif, tetapi untuk memastikan bahwa kerja tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional. Demokrasi tanpa batasan bisa menjadi tirani mayoritas.”
Pernyataan anggota DPR RI, Habiburokhman, yang menyindir Mahkamah Konstitusi (MK) karena kerap membatalkan undang-undang hasil kerja keras legislatif, mencerminkan kesalahpahaman terhadap peran fundamental MK dalam sistem demokrasi konstitusional. Kekecewaan karena produk legislasi dipatahkan oleh “sembilan orang” hakim konstitusi seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk perlawanan politik atau sikap arogan lembaga yudisial, melainkan sebagai koreksi konstitusional terhadap prosedur dan substansi hukum yang menyimpang dari nilai-nilai dasar Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam ilmu hukum tata negara, fenomena ini dikenal sebagai countermajoritarian difficulty, sebuah dilema ketika lembaga yudisial yang tidak dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kekuasaan untuk membatalkan produk dari lembaga legislatif yang dipilih melalui proses demokratis. Tampaknya bertentangan dengan prinsip mayoritarianisme, namun justru di sinilah letak kekuatan demokrasi konstitusional, bahwa kekuasaan mayoritas sekalipun tidak boleh melanggar nilai-nilai dasar konstitusi, apalagi melindas hak-hak kelompok minoritas.
Esensi paling dalam dari judicial review adalah perlindungan terhadap hak-hak minoritas. Di tengah semangat demokrasi yang identik dengan suara mayoritas, perlu ada mekanisme konstitusional yang memastikan bahwa suara yang kecil, lemah, dan seringkali tak terdengar tetap mendapatkan tempat yang adil di dalam sistem hukum. Judicial review lahir bukan untuk melawan demokrasi, melainkan untuk memperbaikinya; bukan untuk menghentikan legislasi, tapi untuk memastikan legislasi tidak melanggar hak-hak konstitusional yang dilindungi, termasuk hak-hak kelompok rentan dan terpinggirkan.
Habiburokhman menyebutkan bahwa DPR lelah menjalani proses legislasi. Namun kelelahan bukanlah dalih yang bisa digunakan untuk mengabaikan prinsip-prinsip partisipasi publik yang bermakna. Jika Mahkamah Konstitusi membatalkan suatu undang-undang karena tidak terpenuhinya asas meaningful participation, maka itu bukan karena “keinginan tidak diakomodasi,” tetapi karena prosedur yang demokratis telah dilanggar. Hak rakyat untuk didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan merupakan komponen dasar dari proses legislasi yang konstitusional. Tanpa itu, hukum kehilangan legitimasi moralnya.
Sindiran bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna dalam memutus perkara juga merupakan bentuk kekeliruan. Proses judicial review bersifat terbuka dan memberi ruang yang luas bagi para pihak, baik pemohon, pemerintah, DPR, ahli, maupun elemen masyarakat sipil untuk menyampaikan pandangannya. Persidangan disiarkan, dokumen dapat diakses publik, dan putusan dibacakan secara terbuka lengkap dengan pertimbangan-pertimbangannya. Namun, berbeda dengan proses legislasi yang cenderung berbasis kompromi politik, pengambilan putusan di MK berbasis norma konstitusi. Yang diuji bukan kesepakatan politik, melainkan kesesuaiannya dengan hukum dasar negara.
Kita harus ingat bahwa judicial review bukanlah instrumen untuk menggagalkan kerja keras legislatif, tetapi untuk memastikan bahwa kerja tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional. Demokrasi tanpa batasan bisa menjadi tirani mayoritas. Dalam sejarah konstitusional modern, banyak pelanggaran hak asasi manusia justru terjadi melalui suara mayoritas, dan itu nampak sah dimata hukum. Itulah mengapa konstitusi harus dijaga oleh lembaga independen yang berani mengambil sikap bahkan jika itu tidak populer, hal ini untuk menjaga keadilan substantif di tengah hiruk pikuk demokrasi elektoral yang sering kali transaksional.
Mahkamah Konstitusi bukanlah lawan politik DPR. MK bukan pesaing kekuasaan legislatif, melainkan mitra dalam menjaga kualitas demokrasi konstitusional. Peran MK sebagai constitutional court adalah mengawal agar proses demokrasi tidak berubah menjadi arena kepentingan sempit politik yang merugikan warga negara. Tanpa MK yang kuat dan independen, tidak ada institusi yang bisa mengoreksi legislasi yang cacat secara hukum maupun moral.
Kritik terhadap Mahkamah Konstitusi tentu sah. Namun, menganggap MK sebagai penghalang atau bahkan musuh kerja-kerja politik DPR adalah narasi yang menyesatkan publik. Apalagi jika dijadikan alasan untuk mengebiri kewenangan judicial review atau melemahkan otoritas lembaga yudisial atas nama efisiensi politik. Semangat reformasi melahirkan MK bukan untuk menghukum DPR, tetapi untuk memastikan bahwa kekuasaan legislatif tidak menjelma menjadi instrumen penindasan yang legal.
Apabila terdapat ketidaksepakatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, mekanisme koreksi yang tepat adalah melalui argumentasi konstitusional yang rasional dan berbasis hukum, bukan dengan retorika yang berpotensi menyesatkan dan mereduksi logika hukum. Kritik terhadap lembaga yudisial harus disampaikan dalam kerangka penghormatan terhadap supremasi konstitusi.
Apabila DPR menghendaki agar produk legislasi tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka solusinya bukan terletak pada pelemahan kewenangan yudisial atau ekspresi kelelahan institusional, melainkan pada komitmen untuk menjalankan proses legislasi secara konstitusional. Ini mencakup penghormatan terhadap prosedur formal, keterlibatan publik yang bermakna dan inklusif, serta penempatan konstitusi sebagai pedoman utama dalam setiap penyusunan norma hukum. Dalam negara hukum, kekuatan suatu institusi tidak ditentukan oleh kerasnya suara atau dominasi politik, melainkan oleh ketaatan terhadap prinsip-prinsip konstitusional dan etika pemerintahan yang demokratis.
Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi tidak dapat diposisikan sebagai antitesis dari lembaga legislatif. Sebaliknya, ia merupakan pilar penting dalam menjaga keutuhan prinsip konstitusionalisme, serta menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, khususnya kelompok minoritas yang sering kali terpinggirkan dalam dinamika politik mayoritas. Justru karena para hakim konstitusi tidak berasal dari proses elektoral mayoritarian, mereka memiliki legitimasi moral dan yuridis untuk menilai dan menjaga keberlangsungan prinsip-prinsip keadilan substantif dalam bingkai negara hukum yang demokratis.
*) Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana UGM