Beranda Mimbar Ide Politik Ketakutan: Perang, Nuklir, dan Ketidakadilan Dunia

Politik Ketakutan: Perang, Nuklir, dan Ketidakadilan Dunia

0
Ilustrasi - Ujicoba peluncuran hulu ledak nuklir. ANTARA/Anadolu/py/am.

Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah, M.Ag. 

(Staf Pengajar UIN Alauddin Makassar, Pendiri Rumah Kajian Filsafat dan Pembina Komunitas Literasi Perempuan)

Pagi ini, Selasa 24 Juni 2025, saya memandangi beranda media sosial yang semakin hari dipenuhi berita perang. Di antara kabar konflik itu, satu judul yang mencuri perhatian saya, yaitu: “Iran kembali memperkaya uranium hingga mendekati kadar senjata.” 

Berita itu melintas begitu saja, lalu tenggelam di antara unggahan tentang cuaca, harga sembako, dan berita politik. Sepertinya dunia kini terbagi menjadi dua, antara mereka yang menjalani keseharian dengan segala beban hidupnya, dan mereka yang, entah di ruang rapat atau pangkalan militer, sedang sibuk menentukan nasib umat manusia.

Namun bagi saya, berita itu menyisakan kegelisahan. Bukan karena Iran memperkaya uranium, tetapi karena dunia kembali bereaksi dengan kepanikan yang selektif. Negara-negara besar mengecam. Amerika bersuara lantang. Israel mengancam. Dan dunia, yang terbiasa dengan narasi satu arah, kembali menelan anggapan bahwa senjata nuklir di tangan Iran adalah ancaman, sementara ratusan hulu ledak nuklir yang disimpan Amerika, Rusia, Prancis, dan Israel seakan tidak mengusik nurani global. 

Tampaknya ada kemunafikan yang menggumpal. Sehingga kita harus bertanya bahwa: mengapa dunia melarang Iran memiliki senjata nuklir, sementara negara lain dibiarkan memilikinya? Jawaban yang paling jujur mungkin karena dunia memang tidak adil. Tetapi di balik itu, barangkali ada realitas lain yang lebih mendalam, bahwa dunia sedang berada dalam lanskap peperangan baru, di mana nuklir hanya salah satu dari sekian banyak alasan yang digunakan untuk mempertahankan hegemoni.

Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) menjadi dasar hukum internasional yang mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh memiliki senjata nuklir. Disahkan pada tahun 1968, NPT itu berdiri di atas tiga prinsip, yaitu: on-proliferasi atau mencegah penyebaran senjata nuklir, pelucutan senjata secara bertahap, dan hak atas penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. 

Secara sepintas, NPT itu terdengar sangat adil. Tetapi jika di kaji lebih dalam, kita akan menemukan ketimpangan yang mengakar. Hanya lima negara yang diakui sebagai pemilik sah senjata nuklir. Di antara negara itu adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan China. Negara lainnya, termasuk Iran, dilarang memilikinya, meski mungkin berada dalam ancaman yang sama atau bahkan lebih genting. Ini bukan semata soal hukum, tetapi lebih terkait soal siapa yang berhak mengatur hukum. 

Michel Foucault (1926-1984), mengatakan bahwa hukum bukanlah institusi netral yang mengatur kebaikan bersama, melainkan produk dari kekuasaan yang ingin mempertahankan dominasinya. NPT, dalam kerangka ini, menjadi instrumen legal yang membentuk hierarki kekuatan, yaitu yang kuat menetapkan batas, dan yang lemah wajib patuh. Maka tidak heran jika Iran, yang berdiri di luar lingkaran kekuasaan itu, menjadi kambing hitam dalam wacana keamanan global.

Sejak Revolusi 1979, Iran memang memosisikan diri sebagai penantang dominasi Barat. Ia menolak tunduk pada Amerika, mendukung kelompok-kelompok perlawanan di Timur Tengah, dan bertentangan keras dengan Israel – sebuah negara yang diyakini memiliki senjata nuklir, tetapi tak pernah mengakui atau diperiksa secara internasional. Ketika Iran memperkaya uranium, Barat lalu melihatnya bukan sebagai hak dalam kerangka NPT untuk keperluan sipil, tetapi lebih sebagai potensi ancaman. 

Padahal uranium dengan kadar 3–5% memang lazim digunakan untuk pembangkit listrik. Ketika Iran memperkaya hingga 20%, kemudian 60%, atau bahkan mendekati 90%, barulah dunia menunjukkan kepanikan kolektif seolah malapetaka tinggal sejengkal. Tetapi jika tujuannya memang adalah senjata, mengapa hingga kini Iran belum membuatnya? Mengapa fasilitas mereka masih diperiksa oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA)? Iran mungkin bergerak di wilayah abu-abu, tetapi bukankah wilayah abu-abu itu juga yang menjadi tempat negara-negara besar merancang kekuasaannya? 

Perlu diketahui bahwa modernisasi senjata nuklir Amerika berlangsung tanpa kontrol publik. Begitu juga senjata nuklir Israel berada dalam sunyi yang tidak pernah dijamah inspektur internasional. Dan kecurigaan terhadap Iran lebih merupakan hasil tafsir politik ketimbang kepastian teknis. Sehingga dari sinilah kita bisa melihat bahwa sesungguhnya masalah utama bukan hanya pada uranium atau bom atom, melainkan pada siapa yang dianggap berhak mengatur, dan siapa yang hanya boleh patuh.

Tetapi analisis tentang Iran kiranya kurang lengkap jika tak memasukkan kepentingan energi dan letak geografisnya yang strategis. Iran berdiri di wilayah yang menjadi denyut jantung energi dunia, yaitu Teluk Persia. Minyak dan gas di kawasan ini bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi lebih sebagai sumber daya strategis yang menghidupi mesin-mesin industri dan militer global. Maka sebenarnya, kecurigaan terhadap Iran sering kali bercampur dengan ketakutan akan kehilangan akses terhadap sumber daya itu. 

Sebenarnya, peperangan masa kini tidak lagi selalu dalam bentuk serangan bersenjata, tetapi lebih halus dan tersembunyi. Sanksi ekonomi, embargo teknologi, pembatasan akses pasar, dan propaganda media menjadi senjata ampuh dalam perang tanpa peluru. Dan kita ketahui, Iran telah lama menjadi sasaran bentuk-bentuk perang semacam itu. Iran diisolasi, dibatasi, dan dijerat, bukan hanya karena uranium-nya, tetapi lebih karena keberaniannya untuk tidak tunduk pada segala jenis perbudakan. 

Di era modern kini, di mana citra memainkan peran besar, Iran juga menjadi korban dari perang narasi. Dunia Barat memproduksi imajinasi kolektif tentang Iran sebagai negara radikal, pemicu kekacauan, dan ancaman laten. Sementara tindakan represif sekutu Barat sering kali luput dari pemberitaan. Arab Saudi, misalnya, yang terus mengintervensi Yaman dengan serangan udara yang memakan ribuan korban sipil, tetapi tak pernah dikecam sekeras Iran. 

Dari sinilah kita melihat wajah lain dari perang kontemporer, bahwa perang bukan hanya berlangsung lewat rudal dan drone, tetapi lebih jauh melalui penguasaan wacana, pembentukan opini publik, dan perancangan ketakutan massal. Ketakutan terhadap Iran adalah hasil dari proses simbolik yang panjang itu, dan bukan sekadar realitas teknis semata.

Menurut Frantz Fanon (1925-1961), ini adalah bentuk kolonialisme moral, di mana Barat merasa lebih beradab dan karenanya lebih pantas memegang teknologi destruktif. Senjata nuklir bukan semata perangkat militer, tetapi lebih sebagai simbol dominasi, simbol siapa yang boleh menentukan nasib dunia. Maka pertanyaan tentang Iran bukan hanya soal legalitas nuklir, tetapi lebih soal siapa yang boleh menulis masa depan dan siapa yang harus diam dalam sejarah.

Lebih jauh dalam dunia Timur, terutama dunia Islam, mereka selalu diposisikan sebagai ruang yang liar dan tidak stabil. Dalam konstruksi ini, Timur adalah wilayah yang butuh dikendalikan, diawasi, dan bahkan dikebiri. Ibarat tubuh perempuan dalam narasi patriarki, ia dianggap penuh emosi, impulsif, dan tidak rasional. Iran, dalam lanskap ini, menjadi simbol perempuan pemberontak yang harus dikekang. Ini bukan hanya soal nuklir atau senjata, tetapi lebih tentang bagaimana sebuah wilayah, budaya, dan keyakinan diposisikan dalam tatanan global yang maskulin dan eksklusif.

Sehingga ketika kita bertanya tentang siapa yang berhak memegang tombol kiamat, maka jawaban dunia saat ini tampaknya bergantung pada siapa yang punya kekuatan militer, kursi di Dewan Keamanan PBB, dan kendali atas ekonomi global. Tetapi barangkali, ini justru menjadi ironi terbesar. Bahwa nasib seluruh umat manusia dipertaruhkan dalam tangan segelintir negara yang bahkan tak mampu mempertanggungjawabkan moralitas senjata mereka sendiri. Tragedi Hiroshima dan Nagasaki seharusnya menjadi pelajaran abadi bahwa senjata pemusnah massal bukan pelindung, melainkan kutukan.

Jalaluddin Rumi (1207-1273) pernah menulis, “Dunia ini tidak rusak karena tidak ada kebenaran, tetapi karena terlalu banyak kebohongan yang dianggap benar.” Mungkin inilah kebohongan paling besar hari ini, bahwa keamanan dijaga dengan senjata pemusnah massal, bahwa bom atom bisa menjadi penjaga perdamaian, dan bahwa beberapa negara lebih pantas memegang tombol kiamat dibanding yang lain. Tetapi saya meyakini, bahwa dunia seperti ini bukan dunia yang aman, melainkan dunia yang rapuh, tempat perdamaian hanya dijaga oleh rasa takut dan bukan oleh saling percaya.

Sehingga bagi saya, mungkin kita tidak perlu terlalu takut pada siapa yang memperkaya uranium, tetapi perlu lebih waspada pada siapa yang takut kehilangan kendali atas dunia. Karena dalam dunia yang penuh ketimpangan, senjata tak hanya bicara soal kehancuran, namun juga soal siapa yang boleh bertahan hidup. Iran, dalam segala kompleksitasnya, menjadi cermin untuk melihat ketidakadilan global. Ia menjadi pengingat bahwa selama ketimpangan ini dibiarkan, kita semua sesungguhnya sedang hidup dalam ancaman yang lebih besar dari sekadar nuklir.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT