Beranda Literasi Pesta Gay di Puncak dan Nilai Kearifan yang Berkabut

Pesta Gay di Puncak dan Nilai Kearifan yang Berkabut

0
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*
Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*

Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.*

Para lelaki berkumpul di ketinggian. Mereka datang bukan untuk menatap kabut atau menyeruput teh hangat. Mereka datang untuk sesuatu yang lebih panas dari air mendidih. Sebuah vila di Megamendung, Puncak Bogor, pada 22 Juni 2025, menjadi panggung dari babak yang ganjil: 74 lelaki, 1 perempuan, dalam satu pesta. Polisi masuk. Dan keluar dengan kabar: sebagian reaktif HIV, sebagian positif sifilis. Pesta ini tak menyisakan gelas, hanya menyisakan tanya.

Dan bukan cuma di sana. Februari 2025, di sebuah hotel Rasuna Said, Jakarta Selatan, pesta yang serupa digelar. Daftar hadirin: 56 pria. Barang buktinya kurang lebih sama. Suasananya juga tak jauh beda. Dari vila ke apartemen, dari dataran tinggi ke gedung pencakar langit. Pesta yang tak mengenal ketinggian.

Lalu kita menoleh ke luar negeri, seolah ingin mencari pembenaran. Di Sitges, Spanyol; Tel Aviv, Israel; dan Mykonos, Yunani, pesta serupa diarak ke jalan raya. Sitges Gay Pride mendatangkan 40 ribu orang. Tel Aviv, lebih gila lagi: 250 ribu pengunjung. Mykonos, yang dulunya sunyi, kini riuh oleh parade pelangi. Dunia berubah. Tak hanya membolehkan, tapi merayakan. Tak hanya membiarkan, tapi mengiklankan. Dan batas-batas lama: agama, budaya, hukum, dianggap penghalang yang sudah usang.

Ketika Rumah Kosong, Layar Berbicara

Tahun 2024, Gallup mencatat 9,3 persen populasi dewasa di Amerika Serikat mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ+. Pada populasi Gen Z, lonjakannya signifikan: 22,3 persen. Inggris mencatat 3,2 persen warga yang menyebut dirinya gay atau lesbian. Naik dua kali lipat dibanding satu dekade sebelumnya. Di Indonesia, data memang masih kabur, tapi Kementerian Kesehatan memperkirakan lebih dari satu juta lelaki tergolong LSL (lelaki seks dengan lelaki). Seperti kabut Puncak, angka itu tak bisa digenggam, tapi terasa membasahi udara.
Lalu, bagaimana bisa?

Pertanyaan itu terdengar klise, tapi tetap sah. Karena kita sedang membahas sesuatu yang dulu disebut penyimpangan, sekarang disebut pilihan. Dulu dipinggirkan, sekarang ditampilkan. Bahkan dipromosikan.
Mari kita kembali ke dasar.

Rumah. Tempat pertama di mana anak belajar membedakan arah. Tempat pertama di mana norma dikenalkan. Tempat pertama di mana cinta seharusnya dikenyam, bukan sekadar diceramahkan.

Sayangnya, rumah hari ini bukan lagi tempat yang utuh. Ayah absen secara emosional, hadir hanya dalam bentuk tanggung jawab ekonomi. Ibu kelelahan oleh multitugas dan ekspektasi. Anak-anak tumbuh di lorong algoritma. Dibesarkan oleh TikTok, dipeluk oleh Netflix.

Dalam ketiadaan panutan maskulin, muncullah fenomena yang oleh beberapa psikolog disebut homoerotik attachment. Sebuah kelekatan emosional yang tak terarah pada sesama jenis. Freud menyebut akar hasrat seksual pada anak bermula dari Oedipus Complex. Tapi ia juga menegaskan bahwa identifikasi anak dengan sosok ayahlah yang membuat hasrat itu teredam dan bertransformasi. Maka, tanpa ayah yang bisa diteladani, sang anak kehilangan kompas. Dan kompas yang hilang hanya akan membawa kita berputar-putar, mencari arah yang tak pernah sampai.

Tapi keluarga bukan satu-satunya sekolah. Dunia juga ikut mengajar.

Lewat layar, anak-anak menyaksikan tokoh-tokoh gay bukan hanya eksis, tapi eksotik. Mereka lucu, mereka cerdas, mereka lembut, dan mereka dicintai. Heartstopper, Elite, Sex Education, bukan hanya serial, tapi semacam ajaran gaya hidup.

George Gerbner sudah mengingatkan lewat teori cultivation-nya. Tayangan bukan sekadar hiburan, tapi proses penanaman nilai. Tiga tahap yang terjadi diam-diam: paparan terus-menerus, pembiasaan, lalu pergeseran persepsi. Nilai-nilai lama dianggap beban. Nilai-nilai baru dianggap kebebasan.

Dan ketika “bebas” menjadi satu-satunya nilai, maka apa pun bisa dilegalkan. Bahkan jika itu melanggar hukum.

Saat Aturan Tak Lagi Jadi Arah

Kita punya hukum. UU Pornografi. Kita punya Pancasila. Tapi semua itu tak bisa berdiri sendiri. Ia butuh rumah. Ia butuh peran. Ia butuh kesadaran.

Nilai bukan hanya tulisan. Tapi harus diajarkan. Ditanam. Dari rumah. Dari guru. Dari pelukan orang tua.

Negara, tentu saja, bukan penonton pasif. Ia punya perangkat, punya kewenangan. Tapi sayangnya, sensor tayangan lebih sibuk memotong rokok di sinetron ketimbang menyaring budaya baru yang masuk tanpa permisi. Peran pemerintah dalam menyaring tayangan tidak bisa lagi bersifat reaktif. Harus ada regulasi yang adaptif terhadap kemajuan teknologi dan pola konsumsi media.

Lembaga sensor tidak cukup hanya mengatur durasi ciuman di layar. Ia harus mampu membaca arah pergeseran nilai yang dipengaruhi budaya global. Pemerintah harus hadir dalam bentuk kebijakan literasi media, penguatan regulasi digital, dan kolaborasi aktif dengan penyedia platform. Karena hari ini, nilai bukan hanya masuk lewat sekolah atau rumah ibadah, tapi lewat rekomendasi tontonan dan algoritma trending.

Emas yang Berjiwa, Bukan Berkilau

Pesta di Puncak itu hanya satu titik. Tapi titik itu mengabarkan sesuatu yang jauh lebih besar. Tentang nilai yang memudar. Tentang hukum yang kehilangan nyawa. Tentang masyarakat yang kehilangan arah.

Indonesia ingin jadi emas di tahun 2045. Tapi logam mulia itu tak bisa hanya dinilai dari pertumbuhan ekonomi atau panjangnya jalan tol. Emas sejati bukan sekadar pembangunan fisik, tapi pembangunan jiwa.

Apa gunanya badan tegap kalau isi kepala dan hati rapuh?

Apa gunanya bangsa besar kalau nilai-nilainya mengecil?

Apa gunanya bebas, kalau arah hidup tak jelas?

Kita hidup di zaman cepat. Zaman yang membuat kita lebih sibuk menata tampilan daripada membangun kedalaman. Padahal kemajuan sejati bukan soal kecepatan. Tapi soal kedewasaan.

Dan kedewasaan itu hanya lahir dari nilai. Bukan nilai yang sekadar dihafalkan, tapi yang dihidupi. Di rumah, di sekolah, di layar, di jalan raya.

Kalau kita ingin Indonesia jadi emas, kita harus mulai dari dasar. Menata ulang rumah. Menghidupkan kembali suara guru dan orang tua. Mengajak tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para pendidik kembali ke podium nilai. Karena panggung yang kosong akan diisi siapa saja. Termasuk mereka yang membawa kabut, bukan cahaya.

Pesta gay di Puncak, bagi sebagian orang, mungkin hanya perkara moral. Tapi bagi sebuah bangsa, ia adalah sinyal. Bahwa kita sedang kehilangan arah. Bahwa kabut itu tak lagi indah, tapi membuat kita tersesat. Dan bangsa yang tersesat terlalu lama, bisa jatuh ke jurang tanpa sadar.

Maka sebelum semua jadi terlambat, mari kita buka jendela rumah. Biarkan cahaya masuk. Biarkan suara kearifan terdengar lagi. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menemani. Bukan untuk menghukum, tapi untuk membimbing.

Karena nilai tak butuh panggung. Nilai hanya butuh dijaga. Dengan kasih. Dengan akal sehat. Dengan keberanian untuk berkata: ini salah, dan ini benar.

*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Makassar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT