Oleh : Muhammad Syawal*
Gagasan perlunya sertifikasi halal bagi makanan di Indonesia bermula dari pemberitaan Buletin Canopy edisi Januari 1988 yang diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Di dalamnya memuat artikel tentang hasil penelitian seorang dosen teknologi pangan bernama Prof.Dr.Ir.Tri Susanto,M.App.Sc yang menyebut adanya 34 jenis makanan dan minuman yang terindikasi mengandung lemak babi. Berita tersebut lantas menimbulkan kepanikan baik dari kalangan konsumen muslim maupun kalangan produsen produk pangan yang mengalami penurunan omset secara drastis. Kondisi ini memantik kesadaran bahwa keberadaan jaminan halal untuk produk-produk konsumsi menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi umat Islam.
Sekalipun demikian, sikap pemerintah kala itu kurang efektif dalam membendung kekhawatiran masyarakat akan jaminan halal suatu produk. Akhirnya, pada 6 Januari 1989 berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep./18/MUI/I/1989, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berinisiatif untuk membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika yang kemudian disingkat LPPOM dengan tugas pokok melakukan pemeriksaan terhadap kehalalan suatu produk yang kemudian disebut sertifikasi halal. Hasil dari sertifikasi halal ini adalah diterbitkannya sertifikat halal jika produk tersebut telah memenuhi syarat berdasarkan hasil audit dan kajian fatwa. Produk halal disini tidak sebatas pada produk pangan, tetapi juga produk non-pangan dan bahkan jasa.
Sertifikat halal pada dasarnya hadir untuk menjawab suatu kebutuhan dasar yang dalam tinjauan teori hierarki Abraham Maslow disebut sebagai kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman dimaknai sebagai kebutuhan untuk terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk terhindar dari penyakit yang juga dapat menjangkiti seseorang setelah mengonsumsi produk haram. Selain itu, sertifikat halal juga membawa diferensiasi nilai religius pada suatu produk yang membuat konsumen merasa puas karena telah menjalankan ajaran agama Islam dengan baik. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada daya saing suatu produk halal dalam pusaran pasar global.
Pentingnya posisi sertifikasi halal di Indonesia membuatnya tidak sepi dari polemik. Tidak transparannya pengelolaan dana hasil sertifikasi halal yang dipungut dan dikelola MUI yang jumlahnya ditaksir bisa mencapai seratusan miliar rupiah pertahun manuai sorotan dari berbagai pihak. Rincian keuangannya tidak pernah diungkap pada publik mulai dari berapa jumlah pemasukan hingga kemana saja dananya dialokasikan. Padahal secara legal, menurut UU No. 14 Tahun 2008, setiap badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala, termasuk informasi mengenai laporan keuangan. Polemik lainnya yang sempat memanas adalah ketika sebuah badan sertifikasi halal swasta yang bermarkas di Jerman, Halal Control, pada tahun 2016 mengaku diperas 50 ribu Euro sebagai “pemulus” agar surat rekognisi dari MUI bisa segera terbit.
Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Hal ini membuat Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk produk halal. Laporan State of The Global Islamic Economy Report 2015/2016 yang diterbitkan oleh Thomson Reuters bekerja sama dengan Dinar Standar menyatakan, Indonesia menempati peringkat pertama konsumen produk makanan halal terbesar di dunia. Masyarakat Indonesia mengeluarkan US$ 157 miliar atau sekitar Rp. 2.041 triliun untuk pembelian makanan halal pada tahun 2014. Disusul Turki di peringkat kedua dengan US$ 109 miliar dan Pakistan US$ 100 miliar. Sedangkan menurut Indonesia Halal Economy and Stategy Roadmap yang dirilis Indonesia Halal Lifestyle Centre, konsumen produk halal di Indonesia menghabiskan biaya sampai US$ 214 miliar pada 2017. Selain dipengaruhi oleh kepadatan penduduk Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya, tingginya permintaan terhadap produk halal juga diakibatkan oleh penetrasi kapitalisme pada masyarakat melalui politik hasrat yang kemudian melahirkan budaya konsumerisme. Hegemoni kapitalisme telah mengonstruk pemikiran, lifestyle serta standar hidup masyarakat sehingga batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi semakin kabur. Seluruh kondisi ini pada akhirnya menjadikan industri halal di Indonesia sebagai lahan bisnis baru yang sangat menjanjikan.
Menanggapi peluang ekonomi ini, pada Oktober 2016 pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai mandat UU No.33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. BPJPH merupakan sistem baru sertifikasi halal di bawah Kementerian Agama yang akan bekerja pada Oktober 2019. Namun kehadiran BPJPH dinilai berbagai pihak dapat mereduksi peran MUI sebagai pemain tunggal sertifikasi halal di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2019. Lantas apa motif dibalik kekhawatiran bergesernya posisi sentral MUI dalam industri sertifikasi halal di Indonesia? Tentunya tidak terlepas dari kepentingan profit. Apalagi mulai Oktober 2019, setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kondisi tersebut juga membuka celah bagi perdagangan sertifikat halal di Indonesia. Hal ini menjadikan sertifikasi halal bukan lagi sekedar upaya untuk memberi jaminan pada masyarakat namun juga sebagai lahan basah untuk meraup keuntungan. Pada akhirnya, agama tidak lagi hadir semata-mata sebagai jalan untuk memperoleh keselamatan di akhirat namun juga dikomodifikasikan untuk kepentingan materialis duniawi. Kita patut bertanya, menunggangi sertifikasi halal sebagai medium memperkaya diri dan sanak famili, apakah halal atau haram?
*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar dan nongkrong di LISAN Makassar