Beranda Berdikari BERTANI, SALAHKAH?

BERTANI, SALAHKAH?

0

Oleh : Sultan Jaya Negoro*

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkak kayu dan batu jadi tanaman

Lirik lagu legendaris yang ditulis Koestono Koeswoyo ini tentunya menggambarkan betapa kayanya Indonesia. Negara yang terdiri dari 17 ribu pulau lebih menjanjikan masa depan untuk semua penghuninya.

Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia pastilah juga memiliki kekayaan alam yang melimpah. Salah satunya di bidang pangan.

Menurut Badan Pusat Stastik, NTP (Nilai Tukar Petani) gabungan provinsi Sulawesi selatan bulan oktober 2019 sebesar 103,59 terjadi kenaikan sebesar 0,31 persen bila dibandingkan dengan NTP bulan september 2019 dengan NTP sebesar 103,27 persen.

NTP subsebtor tanaman pangan (NTPP) tercatat sebesar 100,86; Subsebtor Tanaman Hortikultura (NTPH) sebesar 110,87; Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) sebesar 94,29; Subsektor Peternakan (NTPT) sebesar 112,75; dan Subsektor perikanan (NTNP) sebesar 105,65.

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan indeks yang diterima petani (lt) terhadap indeks harga yang harus dibayar petani (lb). NTP juga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikomsumsi maupun untuk biaya produksi. Jadi, semakin tinggi NTP, maka secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani.

Jika setiap tahun terjadi peningkatan NTP, lalu apa alasan pemuda belum tergerak untuk jadi petani?

Ataukah mungkin peningkatan NTP ini tidak merata sehingga masih banyak petani kita yang belum sejahtera ?

Harus kita akui, peningkatan NTP tidaklah berbanding lurus dengan melahirkan petani petani muda atau petani millenial. Masih banyak masyarakat yang beranggapan bertani bukanlah sebuah pekerjaan dan tentunya tidak menjanjikan masa depan. Dalam lingkungan sosial juga, kita tidak menemukan akan ada kebanggaan ketika memilih untuk menjadi petani.

Bisa kita bayangkan ketika berkunjung ke rumah si doi lalu bapaknya bertanya,

“pekerjaan kamu apa anak muda?”

“saya petani, Pak.”

“apa…. Petani? Kau tidak tau, anak saya ini adalah sarjana, sebentar lagi mau naik haji. Mau kau kasih makan apa anak saya!”

Lalu tidak salah jika memang para pemuda atau millenial, bahkan yang merupakan lulusan sarjana pertanian memilih untuk tidak jadi petani. Tidak sanggup menghadapi pertanyaan calon mertua yang lebih sadis daripada ujian meja dihadapan para penguji killer.

Akan begitu viral jika kita menemukan sosok pemuda yang sukses dalam pertanian. Ya, akan begitu viral jika kondisi sosial kita seperti saat ini. Namun nyatanya, itu sebuah hal yang biasa saja. Semua akan sukses dalam bidangnya masing masing apabila dia fokus dan konsisten dalam bekerja. Kondisi sosial yang seperti ini tentunya sangat memprihatinkan. Mendorong pemuda khusunya millenial untuk menjauh dari dunia pertanian.

Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris dan Sulawesi Selatan yang setiap tahun selalu swasembada pangan akan tinggal jadi kenangan bila membiarkan kondisi seperti ini terus berlarut. Dalam sebuah pemberitaan, menteri pertanian menargetkan 2,5 juta petani dari kalangan millenial dengan mendorong inovasi pertanian.

Apakah akan efektif?

Mungkin saja akan efektif jika sumber masalah milenial enggan bertani karena inovasi pertanian. Saat ini, beberapa inovasi dalam pertanian telah ada. Bahkan lebih dari cukup untuk memulai para milineal untuk bertani. Sejauh yang saya lihat selama ini, sumber utama dari masalah pertanian ialah tidak adanya anggapan bertani sebuah pilihan pekerjaan, melainkan sebuah takdir yang tak bisa terhindarkan. Ya, inilah sumber utamanya. pernahkah kita mendengar orangtua berkata,

“sekolahlah tinggi tinggi, nak. Lalu kembalilah menjadi petani!”

mustahil sepertinya mendapatkan orangtua berbicara seperti itu. Kalaupun ada, mungkin 1:1.000.000 atau bahkan lebih. Ataukah di lingkungan kita ada yang akan mengapresiasi jika memilih bertani sebagai pekerjaan? Tentunya sangat membahagiakan jika hal itu memang ada.

Apakah salah jika orangtua tidak menginginkan anaknya jadi petani?

Tentunya tidaklah salah. Sama sekali tidak. Apakah orangtua kita yang menjadi petani hari ini sudah bisa dikatan sejahtera? Jika belum, tentunya sah saja orangtua berpikir demikian. Dan Wajarlah juga jika orangtua doi bersikap seperti itu. Persoalan pertanian ini sangatlah kompleks. Saat ini saja, para petani di beberapa daerah dipusingkan dengan kelangkaan pupuk. Belum teratasi hal tersebut, petani jagung harus bersiap gagal panen karena tanamannya di hantam oleh hama ulat yang belum ada obatnya.

Belum lagi jika kita berbicara persoalan lahan. Masih banyak petani kita saat ini belum memiliki lahan sendiri. Kebanyakan hanya menggarap lahan para tuan tanah di daerahnya masing masing. Ya, wajar saja jika masih banyak petani tidak memiliki lahan, 74% luas lahan dimonopoli 0,2% orang Indonesia saja.

Persoalan pertanian ini harus diselesaikan dari hulu hingga hilir. Begitu banyak persoalan yang menanti untuk diselesaikan. Jaminan akan kesejahteraan petani tentunya adalah hal yang paling utama. Jika seperti itu, tanpa dimintapun para milineal akan berlomba lomba terjun ke pertanian bak banjir bandang. Target 2,5 juta milenial bertani tidaklah menjadi angka yang mustahil lagi.

*) Penulis adalah penggiat literasi dan pemerhati pertanian

Facebook Comments