Beranda Literasi Perempuan Dalam Filsafat Eksistensialisme Sinmone De Beauvoir (Part 2)

Perempuan Dalam Filsafat Eksistensialisme Sinmone De Beauvoir (Part 2)

0
Siti Indah Khanazahrah

Oleh : Siti Indah Khanazahrah*

Pada tulisan sebelumnya; Perempuan dalam Filsafat Eksistensialisme Simone De Beaufoir; Part 1” telah diurai landasan mengapa Beauvoir melakukan kritik pada dunia patriarki. Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud mampu menyarikan landasan yang dimaksud, tetapi setidaknya berupaya memberi gambaran ringkas dari literatur-literatur yang dijumpai.

Seperti diketahui, situasi dunia sejak masa nomaden hingga akhir revolusi Prancis yang menggambarkan perempuan sebagai liyan, ternyata belum berhenti disana. Bahkan di barat awal modern perempuan masih konsisten dalam situasi liyan itu. Perempuan masih selalu dicitrakan rendah, buruk, dan semua yang berkonotasi kotor dan kejahatan. Contoh sederhana dijumpai dalam tradisi barat adalah istilah nenek sihir dan sebaliknya istilah kakek sihir hampir saja tidak ada. Tidak hanya pelabelan, di abad pertengahan sewaktu-waktu nenek sihir mengalami penghukuman seperti pembunuhan atau pembakaran hidup-hidup dan tidak ada pembelaan apapun. Selalu seorang penyihir adalah perempuan dan menjadi kewajaran karena dipentaskan dalam perfilm-an maupun buku-buku hingga hari ini. Tidak ada perubahan dimasa revolusi industri karena sistem yang digunakan tetap menyengsarakan perempuan, yaitu sistem patriarkal dimana laki-laki selalu yang dominan.

Masih banyak fenomena kekerasan perempuan bisa ditemukan di belahan dunia manapun. Gadis Arivia dalam makalah Simone De Beauvoir menyebutkan: “Salah satu varian kekerasan itu adalah objektifikasi pada tubuh perempuan. Dalam sejarah Cina misalnya ditemukan tradisi mengecilkan kaki anak perempuan agar tetap kecil dengan melakukan pembalutan yang ketat dan dipaksa kaki mereka mengenakan sepatu yang kecil sehingga kadang ketika si anak perempuan berjalan tulang kakinya akhirnya retak. Di belahan dunia Afrika, dijumpai juga praktek sunat pada anak perempuan yang mengakibatkan pendarahan. Di Indonesia sendiri, obsesi terhadap tubuh perempuan tidak pernah berhenti; pembungkusan tubuh perempuan dengan paksa; melalui berbagai perda soal pengharusan jilbab, hukum rajam dan cambuk bagi yang melanggar hukum syariah, dan sebagainya”.

Menarik bahwa, Simon De Beauvoir secara luas mengkaji realitas penindasan perempuan di belahan timur maupun barat. Akar penindasan perempuan di timur adalah stigmatisasi, itu juga yang terjadi di barat. Stigmatisasi yaitu sejenis kategorisasi pada situasi yang bukan sebenarnya; perempuan dicitrakan mitos atau diciptakan label-label yang menyusahkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, perempuan didefinisikan oleh tradisi; budaya; atau masyarakat yang kelaki-lakian dan bukan oleh perempuan itu sendiri. Perempuan bukan subjek atau pelaku yang boleh menafsir dirinya melainkan objek yang ditafsir oleh subjek yang lain; yang mengatasnamakan otoritas universal. Situasi ini kemudian melanggengkan relasi laki-laki atas perempuan sebagai “the other”, menjadi lebih berjarak, sebagai seks semata, tidak esensial, bahkan bukan manusia.

Simone De Beauvoir dalam melihat kenyataan ini mengharuskan kebebasan menjadi bagian penting bagi dunia perempuan. Perempuan sebagaimana laki-laki adalah manusia yang bebas, berhak berekspresi, berkesadaran, dan memiliki kemerdekaan berpikir. Perempuan adalah subjek yang dilahirkan, bukan dibentuk, bukan produk situasi, bukan juga hasil konstruksi masyarakat yang tidak lain kecuali mengiyakan. Kenyataan dalam masyarakat mengenai mitos kelaki-lakian dan keperempuanan yang kemudian memproduksi penindasan tidak lain adalah kesengajaan dan lebih bersifat penyelewengan kemanusiaan. Kecenderungan-kecenderungan yang terbentuk; sifat dan perilaku tertentu, sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat lahir dan bertumbuh. Tidak terkecuali didikan orang tua di rumah dan juga sekolah-sekolah. Beauvoir lebih jauh menyebutnya sebagai proses becoming womanisasi yang berjalan secara sistematis, dilakukan secara sadar dan lebih banyak secara tidak sadar.

Mitos perempuan telah cukup memudahkan menyerang perempuan melalui stereotip atau pelabelan-pelabelan negatif. Perempuan adalah irasional, emosional, sulit dimengerti, dan sebagainya, dijawab Beauvoir sebagai tuduhan belaka sebab kenyataan yang ada banyak juga laki-laki penyandang irasionalitas. Banyak laki-laki yang tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata, tidak berprestasi dan sulit dimengerti terutama dalam komitmen. Masih banyak tuduhan yang diciptakan, misalnya perempuan lemah imannya. Seolah tidak wajar mengakui fakta bahwa aktivitas laki-laki sangat tinggi soal perselingkuhan yang juga disebabkan oleh cacatnya iman. Selalu laki-laki pada posisi aman sedangkan perempuan adalah ancaman. Sulit diterima bahwa Romawi kuno yang dulu memberlakukan hukuman mati pada perempuan yang selingkuh dan laki-laki tidak ada hukuman, masih sangat mempengaruhi kebiasaan hari ini. Tradisi purba ketika terjadi pemerkosaan atas perempuan, justru perempuan yang dijatuhkan hukuman. Mirisnya, ada kemiripan dengan situasi di Indonesia. Misalnya fenomena kekerasan seksual pada perempuan justru perempuan yang terdampak lebih besar. Pertama-tama adalah hukuman moral masyarakat, kedua adalah hukum seolah tumpul untuk pelaku kekerasan yaitu laki-laki.

Pemikiran eksistensialis Beauvoir sedikit-banyak memberi solusi menemukan makna eksistensi, dunia yang bebas dan kesetaraan manusia (laki-laki dan perempuan). Beauvoir, sebagaimana ditulis Gadis Arivia: “Manusia hanya dapat menjustifkasi eksistensinya hanya dalam eksistensi manusia lainnya. Artinya, kita semua bersandar pada justifkasi dan makna dari kreasi budaya masyarakat; yang lain hanya dapat melayani kita bila mereka bebas. Oleh sebab itu, demi kepentingan kita juga, kita menjaga dan mempromosikan kebebasan yang lain”. Sekali lagi, kebebasan menjadi bagian penting dalam pandangan Beauvoir. Kondisi tertindas yang dikelabui oleh mitos dan perasaan pasrah menerima, hanya dapat dipatahkan oleh sikap menjaga kebebasan berpikir. Namun, kebebasan bagi Beauvoir bukan datang dari sesuatu yang abstrak dan terisolasi melainkan datang dari situasi yang berelasi (relatedness) dan memiliki afiliasi; lanjut Gadis Arivia.

Apa yang menjadi tugas perempuan hari ini adalah mengamalkan solusi yang ditawarkan. Perempuan harus menyadari eksistensi mereka yang otentik, memiliki hak berkebebasan dan berhenti menjadi objek dari mitos yang diciptakan. Perempuan harus mulai memikirkan segala kemungkinan yang diraih laki-laki juga bisa diraih perempuan. Relasi antara laki-laki dan perempuan yang dominan bersifat biologis dan fungsional harus lebih mengutamakan aspek etika kemanusiaan yang terangkum dalam semangat persahabatan, kemurahan hati, empati, dan sebagainya. Tentu saja membutuhkan upaya-upaya strategis bagi perempuan dalam memperjuangkan semuanya untuk memudahkan pencapaian. Misalnya perempuan harus berdaya dalam berbagai bidang seperti; pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Terutama membangun ekonomi mandiri sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan.

*) Penulis adalah Koordinator Rumah Kajian Filsafat Makassar

Facebook Comments