Beranda Mimbar Ide Pertarungan Abadi, Pertarungan Melawan Nafsu

Pertarungan Abadi, Pertarungan Melawan Nafsu

0
Engki Fatiawan
Engki Fatiawan

Oleh: Engki Fatiawan*

Momentum pemilihan kepala daerah pada suatu daerah atau pemilihan ketua umum pada suatu lembaga adalah ajang memperlihatkan eksistensi kekuatan suara, massa dan kekuatan kolega koalisi. Pertarungan dalam pemilihan ini memiliki seni tersendiri sehingga bisa dinikmati sebagaimana pertunjukan teater di panggung-panggung seni. Tak bisa dipungkiri pula pada perhelatan memenangkan calon yang diusung banyak memakai cara-cara yang bringas, licik, menikam, dan menyerang nama baik serta persoalan pribadi orang dengan berbagai narasi yang tak pantas (baca: pembohong).

Pertarungan seperti yang dijelaskan di atas adalah pertarungan yang tidak murni pertarungan sejati. Sudah barang tentu mereka yang memiliki kekuatan massa dan kaolisi pendukung pasti akan memenangkan pertarungan apalagi ditambah koalisi dengan panitia pemilihan. Pemilihan seperti ini harusnya dicabut sampai ke akar-akarnya karena tidak melihat potensi kualitas dari calon petarung.

Perlu ada pembaruan sistem dan penyadaran terhadap semua masyarakat pemilih akan pentingnya menentukan sikap pada mereka yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang paripurna. Rocky Gerung pernah berkata bahwa sebelum mencalonkan pemimpin negara maka perlu terlebih dahulu diuji kapasitas intelektualnya dengan membuat karya berupa buku yang ditulis setiap calon. Tujuannya bukan untuk membranding nama tetapi ujian kapasitas intelektual.

Menjadi seorang pemimpin bukan hanya mapan terhadap emosional dan spiritual tetapi harus pula paripurna dalam intelektual. Jika ditilik lebih dalam terhadap kapasitas intelektual ini tidak terlepas dari akar literasi artinya mereka yang kapasitas intelektualnya rendah sudah pasti tingkat literasinya juga rendah. Tingkat literasi yang rendah pada dasarnya adalah sebuah penghianatan terhadap perkataan Tuhan dalam kitab suci umat islam (baca: Al-Qur’an) yakni iqra’ “bacalah.”

Pada dasarnya membaca bukan hanya diartikan dengan mengeja huruf pada setiap kata dalam teks akan tetapi lebih dari itu yakni, pembacaan terhadap ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis yang bertebaran di segala penjuru alam semesta termasuk membaca diri sendiri. Mereka yang pandai membaca sudah pasti mampu menembus dan menerawang masa depan serta mempersiapkan segala macam amunisi kehidupan untuk bertarung di hadapan. Maka sangat penting “membaca” bagi seorang pemimpin sehingga Predator Demonstran pernah berkata bahwa politisi yang tak membaca, tak layak untuk dimenangkan.

Dalam kontestasi politik yang ada hanya menang dan kalah, yang menang akan melanjutkan estafet kepemimpinan yang kalah akan meratap dan bagi mereka yang kuat akan tetap lapang dada menerima segalanya. Tak bisa pula dipungkiri, mereka yang hanya membawa kepentingan dan ego pribadi akan pergi bersama dengan kekalahannya. Petarung seperti itu adalah petarung yang bertarung dengan nafsu kemenangan tinggi bukan hasrat pertarungan bersih.

Pertarungan dalam pemilihan pemimpin adalah pertarungan yang sementara bukan pertarungan abadi. Menjadi lawan abadi merupakan suatu pilihan, tetapi membenci personal dan mrusak nama baik orang adalah hal yang tak mesti ada. Dalam narasi agama membenci itu adalah perbuatan dosa.

Pada diri pemimpin (khalifa) yang sejati, lawan sesungguhnya adalah nafsu yang menggebu dalam diri. Sehingga pertarungan yang abadi yaitu pertarungan melawan hawa nafsu. Lawan terberat pada dasarnya adalah diri kita sendiri sehinga Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa peperangan yang berat adalah berperang melawan hawa nafsu.

Maka dari itu, kemenangan dalam pertarungan sangatlah dekat, sedekat hayya ‘ala sholah (mari melaksanakan sholat) dengan hayya ‘alal falah (mari meraih kemenangan). Jika kemenangan itu tercapai maka seorang pemimpin harus menyatukan dalam dirinya empat unsur yakni tanah, air, api dan udara. Dalam analogi sejarah orang kajang mengatakan bahwa pemimpin harus mampu menyatukan empat mata angin (timur, barat, utara, dan selatan) atau menyatukan empat kerajaan kuat yakni Luwu, Bone, Gowa dan Kajang. Pada dasarnya analogi-analogi seperti itu memiliki makna filosofis yakni mampu merangkul segala hal, baik kawan maupun lawan.

Bagi mereka yang memenangkan pertarungan dan diberikan amanah sebuah Pasang ri Kajang menitipkan titah lambusu’nuji nukaraeng, gattannuji nuada’, pisonanuji nusanro, sabbara’nu nu guru (karena jujur engkau jadi pemerintah, karena tegas engkau jadi adat, karena sabar engkau jadi guru, karena pasrah engkau jadi tabib).

*) Penulis adalah Ketua Umum PK IMM Pertanian Unhas

Facebook Comments
ADVERTISEMENT