Oleh: Muhammad Surya Gemilang, Hema Maline Patigai, Nur Rahmasari Adam*
Tanah merupakan komoditas yang berharga dan menjadi incaran setiap orang untuk memilikinya. Pembangunan jalur kereta api Trans Sulawesi merupakan proyek strategis nasional dan merupakan salah satu rencana induk pembangunan infrastruktur Provinsi Sulawesi Selatan dan Nasional. Pangkep merupakan salah satu kabupaten yang dilalui jalur kereta api. Namun, 2 kecamatan mengajukan keberatan karena proses sengketa tanah, yaitu Kecamatan Minasatene dan Kecamatan Ma’rang.
Masyarakat pada umumnya memberikan respon negatif terhadap pengadaan tanah karena indikator penilaian ganti rugi tanah yang tidak transparan sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan antara masyarakat yang terkena dampak dan instansi pemerintah terkait. Permasalahan keberatan masyarakat tersebut kemudian diajukan gugatan di Pengadilan Negeri setempat yang kemudian diselesaikan melalui jalur Konsinyasi.
Konsinyasi sebagai metode yang digunakan adalah penitipan uang ganti rugi yang dititipkan ke Pengadilan Negeri dengan konsekuensi, dengan atau tanpa persetujuan masyarakat terhadap uang ganti rugi tersebut,, lahan yang dimiliki akan tetap dialihfungsikan untuk pembangunan jalur rel kereta api. Metode konsinyasi yang dianggap sebagai solusi justru menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah dalam pengambilan hak atas tanah masyarakat.
Hal ini disebabkan, metode konsinyasi hanya menguntungkan sebelah pihak (win-lose solution) masyarakat terkesan terpaksa untuk menyetujui pembebasan lahan untuk pembangunan rel kereta api meski ganti rugi yang diberikan tidak sepadan dengan lahan produktif yang dimiliki.
Meski diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan pertimbangan bahwa adanya konsekuensi atas fungsi sosial atas tanah yaitu masyarakat harus merelakan hak atas tanah dicabut untuk kepentingan umum, namun tetap saja jalur Konsinyasi dalam pengadaan tanah tidak sesuai dengan asas kesepakatan, dilihat dari aspek keadilan maka tentunya konsinyasi ini akan sangat merugikan salah satu pihak dengan melihat kekurangan yang dimiliki oleh jalur konsinyasi sebagai jalur litigasi, maka diperlukan jalur penyelesaian sengketa yang mampu mengatasi kekurangan tersebut, dan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Riset Sosial Humaniora yang diketuai oleh Muhammad Surya Gemilang dari Fakultas Hukum, maka jalur yang dianggap tepat untuk dilakukan ialah Alternative Dispute Resolution.
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan forum penyelesaian sengketa tanah diluar pengadilan yang melibatkan antara orang dengan orang lainnya atau dengan suatu badan hukum yang berhak atas suatu hak atas tanah, atau antara badan hukum yang satu dengan yang lainnya. ADR atau penyelesaian sengketa non litigasi merupakan bentuk efektifitas hukum sebagai solusi penyelesaian sengketa melalui kekeluargaan yang memberikan win-win solution, dikarenakan ADR menyusun konsep musyawarah dengan asas kesepakatan dan mempertimbangkan kebiasaan masyarakat setempat.
Konsep ADR ini akan direkomendasikan untuk kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan memposisikan ADR sebagai jalur yang paling pertama dan paling utama dalam penyelesaian sengketa lahan untuk pembangunan rel kereta api.
Konsep ADR ini diyakini tepat untuk menyelesaikan permasalahan sengketa lahan yang ada karena mampu mengakomodir kepentingan kedua belah pihak, adapun untuk jalur Konsinyasi akan diposisikan sebagai jalur paling akhir ketika ADR tidak berhasil menemui titik kesepakatan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, juga Peserta Pimnas 35