Oleh : Idham Malik*
Honda Revo Fit melaju santai tengah hari itu, Rabu, 16 Oktober 2024, melintasi Kecamatan Tinangkung Selatan menuju desa pesisir Kalumbatan yang penduduknya didominasi etnis Bajo. Saat itu saya diminta untuk mewakili tim Blue Alliance Indonesia (BAI) mengikuti peresmian buka tutup kawasan laut untuk penangkapan gurita yang dilaksanakan Yayasan LINI. Melelahkan juga, saya sempat terkantuk di Desa Mansamat, mengharuskan saya singgah di warung pinggir jalan untuk sekadar mengunyah sesuatu, tampaknya efektif usir kantuk. Motor melaju melewati Pelabuhan Tobing, yang biasanya tiap hari orang-orang pergi pulang ke Kota Banggai di Kabupaten Banggai Laut, pulau di sebelahnya. Lalu menanjak di pertigaan Tonusan, mendapati jalan kerikil dan berlubang yang jaraknya cukup jauh, hingga di Kalumbatan.
Saya diarahkan oleh Sandi, Koordinator Yayasan LINI (Alam Indonesia Lestari) untuk wilayah Banggai Kepulauan untuk pendampingan masyarakat nelayan untuk tata kelola penangkapan gurita, untuk menuju Gedung Rakyat Kalumbatan, yang terletak di pinggir pantai. Sesampai di sana, kursi sudah tertata rapi, tapi nelayan belum duduk, mereka masih datang satu persatu. Waktu menunjukkan pukul 13.00 wita, sembari menunggu dimulainya acara, saya keluar sebentar untuk makan siang di warung terdekat. Acara baru dimulai pada pukul 14.00 wita. Dr. Ferdy Salamat, Kepala Dinas Perikanan Bangkep tampak sudah duduk di depan. Dr. Ferdy sangat senang dengan kegiatan ini, sebab komoditas gurita merupakan salah satu komoditas penting Banggai Kepulauan.
Saya amati spanduk kegiatan yaitu ‘Peresmian Buka Tutup Kawasan Penangkapan Gurita..”, saya tiba-tiba terkenang dengan Hading Mulung atau pelarangan penangkapan (tutup) dan hoba mulung (buka) pencabutan larangan penangkapan (buka). “Bagusnya bukan buka tutup, tapi tutup buka,” celetuk saya ke Pak Rait, yang duduk di samping. Rait pun menyahut, betul juga Pak.
Acara dimulai, pertama-tama Sandi memberikan laporan, katanya, kegiatan penutupan laut untuk perbaikan produksi gurita (Octopus cyanea) sudah berlangsung sejak 2021 atau tiga tahun, dengan rentang waktu perhentian sementara menangkap di area yang sudah ditentukan, yaitu 72 hektar di perairan depan Desa Kalumbatan dan 65,4 hektar untuk perairan depan Lobuton. Hebat juga. Mulanya saya membayangkan nelayan pencari gurita harus puasa menangkap gurita selama tiga bulan (ikan boleh ditangkap), dari pertengahan Oktober 2024 hingga pertengahan Januari 2025. Bagaimana bisa? Saya mengamati wajah para nelayan itu, menunjukkan wajah biasa saja dengan peraturan ini, mereka tidak terbebani, bahkan banyak tersenyum dan tampak antusias. Padahal, selama di lapangan, saya sering kali mendengar jika pendapatan nelayan terbesar diperoleh dari penjualan gurita (penghasilan antara 200.000 -500.000/hari), yang musimnya singkat, yaitu dari Oktober hingga Februari-Maret.
Saya pun mulai belajar tentang gurita, seperti diskusi bersama nelayan di lokasi dampingan kami, di Kecamatan Buko Selatan dan Bulagi Selatan, serta dengan membaca beberapa literatur ilmiah. Orang pertama yang saya ajak diskusi mengenai gurita ini adalah Ogan Nawir, pengumpul gurita dari Balalon, Bulagi Selatan, pada Selasa, 22 Oktober 2024. Kebetulan saya singgah di rumahnya sewaktu perjalanan ke Lumbi-Lumbia. Sayangnya perbincangan sangat singkat, lantaran dia juga sedang kedatangan tamu dari kandidat bupati Bangkep. Saya punya hanya menanyakan sekenanya.
Menurutnya, pada Oktober ini orang sudah mulai menangkap gurita, namun belum massif, nanti pada Desember nelayan ramai mencari gurita. “Saat ini masih sedikit gurita ditemukan di laut,” kata Ogan. Begitu halnya sewaktu kami berdiskusi dengan nelayan Desa Landonan dan Labangun, pada 24-25 Oktober 2024, mereka mengatakan untuk Oktober ini memang belum waktunya menangkap gurita, sebab tergolong masih ringan/kecil (belum masuk standar ukuran pasar pengumpul, di bawah 500 gram). Mereka umumnya mengatakan, nanti pada Desember gurita sudah masuk ukuran (size), yaitu 500 gram ke atas serta jumlahnya melimpah di kawasan pasang surut.
Saya pun menanyakan hal ini ke Sandi, mengenai berat gurita yang ditemukan pada Oktober, katanya variative, antara 700 gram hingga 3 kilogram. Hemm, berarti untuk wilayah Kalumbatan, penutupan laut lebih efektif, karena bakal menambah bobot gurita yang ditemukan nelayan pada saat kawasan laut dibuka. “Tahun lalu, nelayan dapat menangkap gurita dengan berat total hingga 25 kilogram persekali tangkap, sedangkan tahun-tahun sebelumnya hanya sekitar 1 kilogram persekali tangkap,” kata Sandi.
Hal yang sama saya tanyakan juga ke Muhammad Taufiq, pernah menjadi Koordinator Program LINI di Banggai Laut. Katanya, nelayan masih menangkap gurita berbobot 300 – 500 gram, sebab terdapat harga dari pengepul untuk bobot seperti itu, atau grade/size D. “Untuk size D ini rencananya akan dihilangkan dalam Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Gurita, sebab gurita mulai matang gonad pada bobot 700-800 gram berdasarkan penelitian akademisi di Sulawesi,” ujar Taufik.
Sebuah artikel menunjukkan berat rata-rata saat pertama kali mencapai kematangan adalah 550 g untuk gurita jantan dan 2.200 g untuk gurita betina (Raberinary, D., & Senbow, S., 2012). Sehingga, dengan mengatur penangkapan hanya boleh dilakukan pada gurita jantan dengan bobot di atas 800 gram, berarti memberikan kesempatan kepada jantan untuk menyumbangkan sperma. Salah satu tentakel gurita jantan berfungsi sebagai penis atau disebut hectocotylus akan dimasukkan ke dalam lubang di kepala gurita betina yang juga berfungsi sebagai hidung.
Sedangkan untuk betina baru mencapai kematangan gonad pada bobot 2.200 gram dan biasanya sulit ditemui karena hidup di kedalaman 85-150 meter. Kebiasaan hidup di perairan dalam ini memberikan perlindungan secara alami kepada betina dewasa saat mengerami telurnya sampai mati. Saya menanyakan hal ini ke Taufiq, katanya nelayan ada yang menangkap gurita sampai kedalaman 30 meter. Meski demikian, umumnya menangkap di kawasan pasang surut (intertidal).
Mereka menangkap ikan dengan umpan berupa boneka serupa gurita untuk memancing gurita jantan, yang mengira boneka itu sebagai gurita betina. Nelayan Buko Selatan menyebutnya gara-gara kain, nelayan banggai Laut menyebutnya ‘manis-manis’, sedangkan nelayan dari Selayar menyebutnya ‘pocong-pocong’. Menurut nelayan, boneka gurita itu lebih selektif, karena hanya menarik gurita jantan yang memang lebih agresif dibanding gurita betina. Kemudian berkembang umpan berupa boneka dari kayu dengan jari-jari dari besi menyerupai kepiting. Saya baru tahu juga, ternyata kesukaan gurita itu adalah kepiting. Kata sebuah artikel, ciri-ciri suatu lubang di karang ditempati gurita, jika ada cangkang kepiting berada di sekitarnya. Sayangnya, umpan menyerupai kepiting yang disebut ‘gara-gara kayu’ oleh nelayan Buko Selatan dan ‘cipo’ oleh nelayan Banggai Laut, dan ‘doang-doang’ bagi nelayan Selayar, tersebut tidak bersifat selektif, dalam artian selain memancing gurita jantan juga gurita betina.
Saya menanyakan tentang umpan ini ke nelayan di Landonan, mereka menggunakan dua-duanya, yaitu ‘gara-gara kain’ dan ‘gara-gara kayu’, jika misal ‘gara-gara kain’ tidak laku, mereka mencobanya dengan ‘gara-gara kayu’. Saya pun memancingnya dengan pertanyaan, apakah mereka menangkap juga gurita yang bertelur? Mereka menjawab, tentu bakalan menangkap jika menemukan gurita, apalagi saat harga gurita dinilai tinggi, seperti pada Desember dan Januari. Begitu halnya dengan gurita berukuran kecil, seperti di bawah 500 gram, menurut penelitian di perairan Kabupaten Banggai, nelayan kesulitan menentukan ukuran saat menangkap pada musimnya, dan gurita tidak akan selamat setelah terkena tombak.
Dengan begitu, strategi tutup-buka laut untuk penangkapan gurita tampak lebih efektif dalam memberikan kesempatan kepada jantan dan betina untuk kawin serta betina untuk mengerami telurnya. Menurut literatur, gurita mencapai berat 600 gram pada usia 180 hari atau 6 bulan. Keterangan lain, perbedaan antara individu seberat 100 g dan 200 g adalah dua minggu masa pertumbuhan (Caveriviere, 2006).
Jika misalnya kawasan perairan ditutup untuk penangkapan gurita selama 3 bulan, memang bakal terjadi pertambahan bobot yang signifikan, nelayan akan menangkap gurita dengan size B dan A, yaitu 1-2 kg/gurita dan 2 kg ke atas/gurita. Ogan Nawir, pengumpul dari Balalon juga mengatakan, rata-rata nelayan memperoleh gurita berukuran 1-2 kilogram pada Desember dan Januari. Sayangnya, di Balalon maupun di Landonan hingga Labangun, belum ada inisiasi ‘tutup-buka’, walaupun nelayan pada Oktober-November belum begitu aktif menangkap gurita, lantaran masih sedikit yang tertangkap, juga ukuran masih kecil, sementara ukuran minimum yang biasanya dijual ke pengumpul adalah 500 gram. Besar kemungkinan, kami dari Blue Alliance Indonesia akan menerapkan juga sistem ini, agar masa depan penangkapan gurita dapat berkelanjutan.
Sore hari, pada Kamis, 16 Oktober 2024 itu, saya sudah mau pulang, tapi tiba-tiba diajak oleh Dr. Ferdy Salamat, Kadis Perikanan untuk makan sate gurita dulu. Alhamdullillah, dapat mencicipi sate gurita, sambil mendengar diskusi dengan rombongan Kadis Perikanan. Sewaktu hendak pulang, seorang wartawan mongabay yang meliput ini, bernama Riza Salman juga ingin ke Salakan, menumpanglah ia di motorku untuk ke Salakan. Perbincangan cukup banyak di atas motor, dari tentang cara mendidik anak, hingga mengenai pemerintahan saat ini yang terbilang bobrok. Alih-alih membicarakan hal lain, Riza juga mendiskusikan tentang gurita ini, katanya dia akan menghasilkan sekitar tiga tulisan terkait penangkapan gurita di Kalumbatan. Wah.. seru juga…