Oleh: Engki Fatiawan*
Kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat di Indonesia. Data real time Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) terdapat 24.637 kasus tercatat hingga 4 Desember 2024. Kasus kekerasan tersebut didominasi oleh perempuan sebanyak 79,8%. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami yaitu kekerasan seksual sebanyak 11.122 kasus, dikuti dengan kekerasan fisik 8.534 kasus dan psikis 7.328 kasus.
Tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan menandakan kurangnya ruang aman bagi perempuan. Tentu ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat agar dapat memberikan ruang yang harmonis bagi tubuh perempuan. Ruang harmonis yang dimaksud bukan hanya di ruang dunia nyata, tapi juga dalam ruang dunia maya.
Perkembangan teknologi dan kemudahan akses untuk berinteraksi dalam media sosial kerap disalahgunakan untuk menyerang psikis dan pribadi orang. Acapkali perempuan menjadi korban penyerangan dalam media sosial dengan berbagai bentuk yang mengarah pada pelecehan seksual. Pramesti et al (2021), menyatakan tindak pelecehan seksual yang dilakukan di media sosial ialah tindakan pelecehan non-fisik yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang terakses dalam media sosial pelaku.
Pelecehan seksual di media sosial dapat berupa komentar maupun pesan langsung atau pesan personal yang isinya mengintimidasi seperti menyebutkan bagian intim korban, mengajak korban untuk berhubungan intim dengan iming-iming akan mendapatkan bayaran, dan lain sebagainya yang menyinggung tentang pelecehan seksual (Utama dan Majid, 2024). Pelaku dapat mengeksploitasi orang lain untuk mendapatkan keuntungan atau menimbulkan kerugian bagi korban melalui kekerasan psikologis, baik berupa ancaman peretasan, ancaman pemerkosaan, bahkan pembunuhan (Marganski, 2018).
Tindakan tersebut sangat meresahkan bagi perempuan karena perempuanlah yang banyak menjadi objek perilaku kejahatan pelecehan seksual. Dampaknya cukup serius karena dapat mengganggu psikologi perempuan, mengalami trauma hingga stres. Ketakutan yang timbul terus bertambah karena realitasnya banyak tempat yang tidak harmonis bagi tubuh perempuan tak terkecuali dalam dunia pendidikan.
Dunia pendidikan yang sepatutnya dapat memberikan ruang aman bagi perempuan sebagai tempat percakapan akademis saat ini dapat menjadi ruang dalam melancarkan aksi pelecehan. Pendidikan yang diharapkan mampu mengajarkan nilai dan norma terkadang ada oknum yang merusak citra institusi pendidikan itu sendiri. Buktinya korban kekerasan dan pelecehan seksual marak terjadi bagi anak sekolah dan mahasiswi. Menurut data dari Kemenpppa (2024), kelompok umur 13 – 17 tahun paling banyak menjadi korban mencapai 33,3 persen . Melihat rentan umur tersebut maka ini paling banyak menyasar pelajar, persentase korban mencapai 45,2 persen.
Semua orang tahu bahwa di negeri ini kekerasan seksual sering terjadi pada perempuan dan hukum tidak mampu memprosesnya. Artinya ada masalah mendasar dari sistem kebijakan yang tidak mampu memahami konstruksi peristiwa kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap integritas tubuh dan seluruh psikologi perempuan. Maka dari itu, perlu ada terobosan paradigma dalam sistem kebijakan.
Pada dasarnya kejahatan dan penindasan terjadi karena adanya relasi kuasa. Paradigma yang berkembang di tengah masyarakat bahwa laki-laki memiliki kekuasaan dan perempuan harus selalu menjadi pengikut terhadap laki-laki. Bahwa laki-laki identik dengan kekuatan dan perempuan identik dengan kelemahan. Paradigma inilah yang kemudian memberikan legitimasi terhadap laki-laki untuk bisa menindas dan melakukan kejahatan terhadap perempuan.
Sementara itu, perempuan juga biasanya tidak bisa melawan dan tetap merasa korban. Ketakutan yang timbul dari relasi kuasa laki-laki membuat perempuan mengurungkan niat untuk berbicara dengan lantang memperjuangkan haknya. Ditambah lagi paradigma masyarakat yang menomor duakan perempuan di ruang publik. Alih-alih mengajarkan perempuan untuk terbang namun sayapnya terlebih dahulu sudah dipatahkan.
Percakapan akademis mengenai kekerasan seksual sudah seharusnya menjadi tameng dalam membela tubuh dan psikis perempuan. Akan tetapi, ruang-ruang akademis juga terkadang tidak dapat menciptakan ruang yang aman bagi perempuan. Tentunya hal ini perlu dipandang secara mendasar dan holistik untuk memberikan keamanan yang tidak bias gender.
Dalam pemahaman keagamaan perempuan memiliki kedudukan yang mulia. Islam menempatkan perempuan sama dengan laki-laki. Manusia (laki-laki dan Perempuan) diciptakan sebagai khalifah di muka bumi yang menjaga keberlangsungan hidup dan keberlanjutan bumi. Sama-sama mengemban tugasnya dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban yang sama dalam menunaikan kewajibannya sebagai ciptaan dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Yang Maha Kuasa, sang pengatur alam semesta.
Pada dasarnya bangsa ini telah mengajarkan nilai melalui ideologi pancasila. Nilai keharmonisan kemanusiaan sesungguhnya telah termaktub jelas dan nyata. Akan tetapi, masih banyak yang belum mampu memahami dan menerapkan dalam nilai-nilai pancasila tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga nilai moral individu semakin berkurang dan bahkan sudah tidak ada lagi.
Akhirnya, kesadaran individu masing-masing sangat diperlukan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki harus mampu melindungi dan menjaga nama baik perempuan dan perempuan harus tetap mampu menjaga diri dan menutup auratnya. Olehnya itu, perempuan untuk dimiliki bukan untuk dicicipi.
*) Penulis adalah Ketua Koorkom IMM Unhas