Beranda Mimbar Ide Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

Kultus Skincare, Penjara Baru bagi Perempuan

0

Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah*

Pernah suatu kali, seorang teman berkata dengan bercanda, “Wajahmu glowing yah kalau di foto? Tapi kalau di dekat, ternyata banyak bintik-bintiknya.” Saya hanya tersenyum sambil meneguk secangkir kopi yang baru saja kuseduh. Sebenarnya, kata-katanya tidak menyakitkan, tetapi tetap meninggalkan tanda tanya di pikiran saya. Mengapa kecantikan kini seolah lebih dari sekadar pujian? Mengapa kita merasa mesti memenuhi standar glowing? Mungkin momen kecil seperti ini hanya sepele, tetapi sebenarnya menunjukkan bagaimana dunia luar terus menilai kita, meski tanpa kita memintanya.

Hari ini, kita memang telah sampai pada zaman yang penuh paradoks. Di satu sisi, kita diajar untuk mencintai diri kita apa adanya. Namun di sisi lain, kita terus-menerus di bombardir dengan gambaran ideal tentang penampilan fisik, yang seakan menjadi tolok ukur nilai diri kita di mata masyarakat. Kulit putih, glowing, bercahaya, bebas jerawat, sering kali menjadi standar yang harus dipenuhi, dan sering kali kita merasa bahwa ini adalah bagian dari nilai kita sebagai perempuan. Saya lalu bertanya, apakah kecantikan yang sesungguhnya hanya bisa diukur dari fisik semata?

Standar kecantikan, yang sering dikemas dalam industri perawatan kulit, sebenarnya mencerminkan kapitalisasi tubuh perempuan. Michel Foucault dalam analisisnya mengenai “tubuh yang diawasi” menyatakan bahwa masyarakat modern telah menginternalisasi disiplin atas tubuh kita melalui mekanisme sosial yang subtil. Dalam konteks skincare, tubuh perempuan menjadi medan yang dikontrol oleh norma-norma kecantikan, sebuah penjara yang tidak kasat mata, di mana perempuan menjadi subjek sekaligus objek dari pengawasan diri mereka sendiri. Kita mengatur pola hidup, waktu, bahkan uang demi memenuhi standar ini, tanpa menyadari bahwa kita sebenarnya terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang mendikte kita untuk tidak pernah merasa cukup.

Lebih jauh, obsesi terhadap penampilan luar membawa kita pada apa yang Jean Baudrillard sebut sebagai simulacrum, yaitu realitas buatan yang menggantikan realitas sejati. Media sosial dengan filter-filter kecantikannya menciptakan dunia simulasi di mana wajah glowing menjadi “kebenaran” baru, menggantikan identitas otentik kita sebagai manusia. Dalam dunia ini, kecantikan tidak lagi nyata, tetapi ia hanyalah cerminan dari estetika yang dikonstruksi oleh teknologi. Kita tidak lagi berhubungan dengan diri kita, melainkan dengan gambar ideal yang tak pernah benar-benar ada.

Simone de Beauvoir pernah mengatakan bahwa perempuan itu “dibentuk,” dan bukan “dilahirkan.” Ungkapan ini relevan untuk memahami bagaimana masyarakat patriarkal telah mendefinisikan perempuan melalui standar-standar eksternal. Skincare bukan lagi sekadar praktik perawatan diri, tetapi ia telah menjadi perangkat ideologis yang memperkuat gagasan bahwa nilai perempuan terletak pada bagaimana mereka dipersepsi secara visual oleh orang lain. Dalam hal ini, skincare bukan hanya alat perawatan, tetapi juga alat kontrol sosial yang membatasi perempuan pada peran estetika semata.

Dalam analisis lebih dalam, obsesi terhadap skincare ini juga mengingatkan kita pada konsep alienasi yang dikemukakan oleh Karl Marx. Kita, sebagai konsumen produk kecantikan, telah teralienasi dari tubuh kita sendiri. Tubuh tidak lagi dipandang sebagai bagian integral dari diri, tetapi sebagai “proyek” yang harus selalu diperbaiki untuk mencapai kesempurnaan. Alienasi ini merampas hubungan organik kita dengan tubuh, membuat kita memandang tubuh bukan sebagai rumah, tetapi sebagai objek investasi yang harus selalu menghasilkan nilai.

Tidak hanya itu, tekanan untuk mencapai standar kecantikan ini juga melahirkan apa yang Erich Fromm sebut sebagai “orientasi memiliki” daripada “orientasi menjadi.” Kita diajarkan bahwa memiliki kulit putih atau wajah glowing adalah indikator keberhasilan, sehingga makna keberadaan kita bergeser dari “menjadi diri sendiri” ke “memiliki tampilan sempurna.” Ketika orientasi hidup kita bergeser dari keberadaan ke kepemilikan, kita kemudian kehilangan makna eksistensi yang lebih mendalam.

Bell hooks pernah berkata, “Cinta adalah tindakan pemberdayaan.” Tetapi, dalam dunia yang terobsesi dengan kecantikan fisik, cinta pada diri sering kali disalahartikan sebagai pemenuhan standar estetika. Skincare, alih-alih menjadi ekspresi cinta pada diri, justru menjadi simbol dari upaya untuk mendapatkan validasi eksternal. Dalam proses ini, kita kehilangan cinta sejati, yaitu cinta yang berasal dari penerimaan penuh atas diri sendiri tanpa syarat.

Skincare juga sering kali dianggap sebagai bentuk pemberdayaan perempuan. Tetapi, ketika ditinjau lebih jauh, pemberdayaan ini sering kali hanya bersifat semu. Industri kecantikan menjual gagasan bahwa perempuan memiliki kendali atas tubuh mereka, tetapi pada saat yang sama, mereka menggiring perempuan untuk tetap berada di bawah kontrol norma kapitalis. Dengan kata lain, “pilihan bebas” dalam membeli produk kecantikan sebenarnya adalah ilusi, karena pilihan itu telah diprogram oleh kekuatan ekonomi yang lebih besar.

Dalam tradisi filsafat Islam, konsep kecantikan ini selalu dikaitkan dengan dimensi spiritual. Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menyebut bahwa kecantikan sejati bukan hanya terletak pada fisik, melainkan pada kemurnian hati dan kesucian niat. Ini adalah pengingat bahwa estetika fisik hanyalah sebagian kecil dari manifestasi keindahan yang sejati, yang bersumber dari kedekatan kita dengan Yang Ilahi. Dalam hal ini, obsesi terhadap skincare dapat dipandang sebagai bentuk keterasingan spiritual, di mana kita terlalu fokus pada dimensi material hingga melupakan dimensi immaterial dari eksistensi kita.

Maya Angelou dengan indahnya berkata, “Mencintai diri sendiri bukan hanya soal menerima tubuhmu, tetapi juga merayakan pikiran dan jiwamu.” Maka ketika kita terlalu sibuk mempercantik yang tampak di luar, kita sering kali melupakan tanggung jawab untuk mempercantik pikiran kita dengan pengetahuan dan jiwa kita dengan kebijaksanaan. Bahkan, kita bisa saja kehilangan harmoni yang seharusnya menjadi inti dari keberadaan kita sebagai manusia.

Terakhir, kita memang perlu menyadari bahwa kecantikan sejati tidak datang dari cermin, tetapi dari kedalaman jiwa kita. Kritik terhadap kultus skincare ini bukan berarti menolak perawatan diri, tetapi mengajak kita untuk lebih bijak dalam memandang tubuh kita sebagai anugerah, bukan sebagai alat untuk memenuhi ekspektasi sosial. Kita mesti melampaui standar yang diciptakan oleh industri kecantikan, dan menemukan kembali nilai kita sebagai manusia yang utuh, yang lebih dari sekadar penampilan fisik, tetapi juga pikiran yang tajam, jiwa yang damai, dan semangat yang tidak tergoyahkan. Dengan begitu, kita bisa keluar dari penjara sosial ini, dan hidup dengan kebebasan yang sejati.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT