Beranda Mimbar Ide Perempuan dalam Bayang-Bayang Pujian Dangkal

Perempuan dalam Bayang-Bayang Pujian Dangkal

0

Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah*

“Seorang perempuan selalu mudah dipengaruhi dengan diberi pujian-pujian mengenai penampilannya daripada mengenai jalan pikirannya.” Simone de Beauvoir.

Saya sering bertanya-tanya, mengapa pujian untuk perempuan lebih sering berkutat pada kecantikannya dibandingkan dengan cara berpikirnya? Sebenarnya, ini bukan sekadar fenomena sosial yang terjadi di media atau ruang publik.

Tetapi, ini adalah refleksi dari cara kita membentuk makna perempuan sejak kecil. Kita bisa melihatnya dalam keluarga, dalam pendidikan, atau dalam budaya kita secara umum, di mana kecantikan bagi perempuan menjadi tolok ukur utama yang lebih diutamakan dibandingkan kedalaman pikirannya.

Ketika masih kecil, seorang anak perempuan lebih sering dipanggil “cantik” sebelum ia dipanggil “cerdas.” Seolah-olah nilai dirinya ada pada bagaimana orang melihatnya, bukan bagaimana ia melihat dunia. Dalam hal ini, ada pola yang terus berulang, yaitu perempuan memang di didik untuk menjadi cantik, menarik secara visual, sementara laki-laki didorong untuk menjadi kuat, berani, dan rasional. Maka, tidak heran pada saat mereka tumbuh dewasa, standar ini semakin membatin begitu kuatnya.

Tentu saja, ada tuntutan agar perempuan juga menjadi cerdas, tetapi cerdas dalam batasan tertentu. Mereka harus cerdas, bukan sebagai subjek, bukan untuk menjadi pemikir merdeka, tetapi agar terlihat berkelas, pantas, dan layak sebagai “istri yang sempurna.” Itulah mengapa, dalam pertemuan keluarga misalnya, atau dalam relasi pertemanan, seorang perempuan dengan karier yang cemerlang masih terus ditanya, “Kapan menikah?” seolah-olah pencapaian akademik dan profesionalnya hanyalah sekadar persiapan untuk memasuki peran domestik.

Dalam filsafat eksistensialisme, Simone de Beauvoir menyebut situasi ini sebagai “Othering”, yang berarti, perempuan tidak pernah benar-benar menjadi subjek yang berdiri sendiri, melainkan selalu didefinisikan dalam relasinya dengan laki-laki. Perempuan menjadi the Other, sesuatu yang tidak memiliki keberadaan mandiri, melainkan selalu dikaitkan dengan standar yang diciptakan oleh sistem yang lebih besar. Pertanyaannya kemudian, apakah kita sebagai perempuan masih berada dalam lingkaran ini? Jika iya, apa yang mesti kita lakukan?

Ketika kita melihat media sosial hari ini, ada dua arus besar yang saling berlawanan. Tetapi, ironisnya, keduanya masih menempatkan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian. Di satu sisi, ada standar kecantikan konvensional yang terus dipromosikan, yaitu perempuan harus langsing, kulit glowing, dan mengikuti tren kecantikan yang berlaku. Di sisi lain, ada juga gerakan body positivity yang melawan standar ini, tetapi tetap menjadikan tubuh sebagai titik utama pembahasan.

Saya melihat ada paradoks dalam gerakan ini. Di satu sisi, mereka ingin membebaskan perempuan dari standar kecantikan yang sempit. Tetapi di sisi lain, mereka masih menjadikan tubuh sebagai tema sentral. Kampanye “mencintai tubuh sendiri” sering kali lebih dominan dibandingkan dengan kampanye untuk mencintai cara berpikir sendiri, menggali potensi intelektual, atau merayakan kompleksitas eksistensial. Sampai kini, satu pertanyaan masih terus menghantui saya, mengapa tubuh perempuan selalu menjadi arena perdebatan, tetapi pikirannya jarang dibicarakan?

Jika dibandingkan dengan konsep tubuh dalam filsafat Timur, khususnya Buddhisme, dalam ajaran anicca-nya (ketidakkekalan), tubuh  justru dipandang sebagai sesuatu yang terus berubah dan tidak tetap. Maka obsesi terhadap kecantikan dan bentuk tubuh menjadi tidak relevan dalam perspektif ini, karena tidak ada yang benar-benar bisa bertahan selamanya. Tubuh ramping dan kulit glowing hanya bertahan sekejap, itupun jika rutin dan konsisten mengamalkan ritual yang telah ditetapkan oleh perusahaan produk kecantikan tertentu.

Namun demikian, dalam masyarakat kapitalis, tubuh justru menjadi komoditas yang terus dieksploitasi. Michel Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bagaimana tubuh dijadikan objek kekuasaan, mulai dari standar kecantikan, mode, hingga diet yang terus-menerus mengatur bagaimana perempuan seharusnya tampil. Ini adalah bentuk pengawasan yang lebih subtil, yaitu perempuan merasa mereka memilih untuk berdandan atau diet, padahal mereka sebenarnya sedang dikontrol oleh kekuatan sosial yang tidak terlihat.

Hari ini, mungkin banyak diantara kita yang merasa bahwa perempuan sebenarnya sudah lebih bebas dibandingkan generasi sebelumnya. Karena, perempuan sudah bisa berpendidikan tinggi, memiliki karier yang bagus, dan berbicara di ruang publik. Tetapi, apakah kebebasan ini benar-benar membebaskan, atau hanya bentuk baru dari belenggu lama?

Dalam filsafat, ada konsep tentang “kebebasan untuk” dan “kebebasan dari.” Kebebasan sejati bukan hanya soal bisa melakukan sesuatu (freedom to), tetapi juga bebas dari tekanan eksternal yang membentuk diri kita (freedom from). Kita melihat banyak perempuan memiliki kebebasan untuk belajar, bekerja, dan mengekspresikan diri, tetapi apakah mereka benar-benar bebas dari standar sosial yang mengontrol cara mereka berpenampilan dan berperilaku?

Di dunia yang semakin dikendalikan oleh algoritma media sosial, ada juga paradoks kebebasan yang menarik. Perempuan diberikan ruang untuk menampilkan diri, tetapi eksistensinya tetap dinilai berdasarkan seberapa menarik mereka tampil di layar. Bahkan di lingkungan akademik atau profesional lainnya, perempuan masih sering merasa perlu menunjukkan daya tarik fisik agar mendapatkan perhatian yang sama seperti laki-laki.

Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra berbicara tentang manusia sebagai Ubermensch, yang berarti, individu yang mampu melampaui batasan moral dan sosial yang dipaksakan kepadanya. Tetapi, apakah perempuan pernah diberikan ruang untuk menjadi Ubermensch dalam pengertian ini? Atau justru, mereka tetap terjebak dalam sistem yang meskipun tampak lebih modern, tetapi masih menyimpan pola pikir yang lama?

Maka pertanyaan, apa yang mesti kita lakukan dan bagaimana  melampaui ini? Kita tidak bisa hanya berkata bahwa kecantikan itu tidak penting, karena dalam banyak aspek kehidupan, kecantikan tetap memiliki tempat. Tetapi, ia tidak boleh menjadi satu-satunya ukuran nilai seseorang. Perempuan bisa memilih untuk merawat diri, tetapi mereka tetap harus memiliki ruang yang sama untuk berpikir, bertanya, dan mendefinisikan hidup mereka sendiri.

Kita perlu lebih banyak narasi yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang berpikir dan bertindak, bukan hanya sebagai objek yang dinilai. Dalam sastra, dalam akademisi, dalam ruang publik lainnya, perempuan harus bisa hadir bukan hanya sebagai “figur inspiratif” dalam kerangka kecantikan, tetapi juga sebagai individu yang turut membentuk makna.

Di sini, kita bisa mengambil pelajaran dari konsep wabi-sabi dalam filsafat Jepang, yaitu keindahan dalam ketidaksempurnaan. Jika kita mengadopsi perspektif ini, kita bisa memulai melihat bahwa nilai perempuan tidak seharusnya terletak pada bagaimana ia memenuhi standar orang lain, tetapi pada bagaimana ia membentuk maknanya sendiri.

Dalam dunia di mana perempuan masih terus berjuang untuk diakui sebagai pemikir, bukan hanya sebagai objek estetika, mungkin kita perlu kembali ke pertanyaan awal, apakah perempuan pernah benar-benar menjadi subjek dalam dirinya sendiri? Dan jika jawabannya belum, bagaimana kita bisa menciptakan dunia di mana mereka bisa?

Untuk memulainya, kita perlu mengubah cara kita berbicara. Kita mesti memulai percakapan yang lebih dalam tentang bagaimana perempuan dipandang, bukan hanya dari wajahnya, tetapi juga dari pikirannya. Dan mungkin, dengan cara itu, kita bisa mulai menciptakan dunia di mana perempuan benar-benar bebas, merdeka, tidak hanya dalam ilusi kebebasan, tetapi dalam kebebasan yang sejati.

*) Penulis adalah Penulis, Staf Pengajar UIN Alauddin Makassar. Aktivitas sehari hari sebagai Pegiat Literasi & Filsafat Profesi. Aktif sebagai Pendiri Rumah Kajian Filsafat dan Pembina Komunitas Literasi Perempuan. Memiliki hoby Baca, Traveling & Menonton. Email:sittinurlianiindahkhanazahrah@gmail.com.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT