Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.,*
Suatu siang di sebuah terminal tua, seorang sopir angkot menunduk. Bukan karena lelah menarik setoran, tapi karena dipalak dengan cara paling halus: “Ada uang keamanan, Bang.” Tak ada senjata, tak ada teriakan, tapi seluruh tubuhnya tahu: ini bukan permintaan, ini tekanan. Premanisme, begitu kita menyebutnya. Tapi sesungguhnya, ia lebih dari sekadar kekerasan jalanan. Ia adalah jalan pintas… dari jalan buntu.
Belakangan, isu premanisme kembali jadi tajuk. Polisi kembali menggerebek markas, menangkap pelaku, menyita senjata tajam. Video-videonya menyebar, publik bersorak. Tapi riuh itu hanya sejenak. Premanisme bukan hanya soal jumlah pelaku yang diborgol, tapi soal pola yang berulang. Kalau ia bisa muncul dan menguat kembali, berarti ada ruang yang dibiarkan kosong. Dan ruang kosong itu tak pernah lama menganggur, selalu ada yang siap mengisinya.
Data menunjukkan betapa luka ini tak pernah betul-betul sembuh. Laporan dari Kepolisian mencatat ratusan aduan masyarakat setiap tahun terkait aksi premanisme, dari pungutan liar hingga intimidasi berbasis ormas. Dan ini baru yang tercatat. Di balik warung kopi dan toko kelontong, ada ratusan cerita lain yang tak pernah sampai ke meja aparat. Premanisme bukan hanya soal kekerasan fisik. Tapi soal ketakutan kolektif yang dibiarkan tumbuh.
Premanisme adalah Buah, Bukan Akar
Fenomena premanisme bukan monopoli Indonesia. Di belahan Amerika, geng MS-13 telah menjelma jadi “negara dalam negara” di wilayah mereka. Dengan kekerasan dan intimidasi, mereka mengatur jalanan, bisnis gelap, bahkan kehidupan warga yang tak berdaya, menciptakan ketakutan sekaligus ketergantungan. Di Italia, mafia menjadi kekuatan bayangan yang menguasai ekonomi bawah tanah dan merasuk ke dalam struktur politik, seperti “raja tanpa mahkota” yang mengendalikan banyak hal di balik layar. Sementara itu, di Filipina, jaringan preman berkembang subur menjadi “penguasa informal” yang menegakkan aturan sendiri.
Semua fenomena ini punya benang merah yang sama: ketika negara gagal hadir secara adil dan setara, premanisme tumbuh sebagai aktor bayangan yang mengatur ketertiban dengan logika mereka sendiri.
Pengamat kebijakan publik kerap menyebut ini sebagai simptom, bukan penyakit. Premanisme adalah buah, bukan akar. Ia tumbuh dari kegagalan sistemik: buruknya tata kelola, lemahnya pelayanan publik, ketimpangan sosial yang dibiarkan menjalar. Ketika ruang publik tak aman, birokrasi tak ramah, dan aparat cenderung permisif, maka masyarakat mencari “rasa aman” meski lewat jalan bengkok. Dan para preman, sadar atau tidak, mengisi kekosongan itu.
Sosiologi klasik menyimpan kaca pembesar yang masih relevan. Chicago School misalnya, memetakan bagaimana kota dan ruang-ruang urban membentuk pola kejahatan. Ketika kampung-kampung digusur dan diganti beton, ketika ikatan sosial tergerus oleh kompetisi ekonomi, muncullah lingkungan-lingkungan yang “disorganisasi sosial”, tempat kekerasan dan kriminalitas tumbuh bukan karena niat, tapi karena tuntutan kebutuhan.
Robert K. Merton dengan Strain Theory-nya menyempurnakan pemahaman ini: bahwa premanisme bisa lahir dari ketegangan antara harapan dan kenyataan. Masyarakat diajarkan mengejar sukses, tapi saluran sah menuju cita-cita itu disumbat. Maka sebagian memilih jalan pintas. Preman bukan dilahirkan, tapi diciptakan oleh sistem yang timpang.
Mendagri dan Transformasi Sistemik
Lalu, bagaimana menyikapinya? Apakah semua harus diborgol dan diberi seragam oranye?
Keadilan restoratif menawarkan jalan lain. Jalan yang tidak hanya menghukum, tapi juga memulihkan. Premanisme tidak bisa dilawan hanya dengan patroli dan pentungan. Ia harus dihadapi dengan pendekatan yang menyentuh akar: kemiskinan, pengangguran, ketercerabutan sosial. Di titik ini, peran Kementerian Dalam Negeri menjadi sangat strategis.
Mendagri bukan sekadar manajer pemerintahan daerah. Ia bisa dan seharusnya menjadi motor perubahan sistemik. Seperti di Republik Ceko, yang memosisikan Kementerian Dalam Negeri sebagai aktor utama pemberantasan kejahatan dalam framing restoratif. Mendagri bisa mendorong kepala daerah membentuk forum dialog, memperkuat perangkat kelurahan, melibatkan tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Ketika preman “direstorasi” menjadi warga yang kembali punya tempat dalam komunitas, maka rantai kekerasan bisa diputus tanpa menyulut dendam baru.
Tentu pendekatan ini bukan untuk semua. Bagi preman yang telah menjelma menjadi sindikat kekerasan, negara tetap harus hadir dengan tegas. Tapi bagi mereka yang terseret karena keadaan, karena lapar, atau karena kehilangan arah, pendekatan ini membuka harapan.
Karena sejatinya, premanisme bukan soal siapa yang jahat. Tapi siapa yang selama ini “tak diurus”.
Menuju Indonesia Emas 2045, kita tak hanya butuh jalan tol dan gedung pencakar langit. Kita butuh ruang publik yang aman, yang tak dikuasai oleh rasa takut. Kita butuh kebijakan yang melihat manusia, bukan hanya angka. Kita butuh negara yang tak hanya hadir saat kampanye, tapi juga saat rakyatnya dicekam ketakutan untuk sekadar berjualan di pinggir jalan.
Dan semua itu tak bisa dicapai hanya dengan kekuatan tangan. Tapi dengan kekuatan hati, yang percaya: bahwa setiap orang, bahkan yang pernah tersesat, berhak untuk kembali pulang.
*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin