Beranda Mimbar Ide Stimulus, Menjaga Stabilitas Ekonomi Ditengah Ancaman Deflasi dan Ketidakpastian Global

Stimulus, Menjaga Stabilitas Ekonomi Ditengah Ancaman Deflasi dan Ketidakpastian Global

0
konferensi pers Menteri Keuangan RI (sumber foto : bisnis.com)

Oleh: Fajar Lingga Prasetya.,S.AB

(Analis Kebijakan Ahli Pertama Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara) 

Deflasi adalah kondisi ketika harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan dalam periode tertentu. Meskipun terdengar menguntungkan bagi konsumen karena harga menjadi lebih murah, deflasi justru dapat menjadi sinyal bahaya bagi perekonomian. Deflasi ini menandakan pertumbuhan ekonomi negara melambat, ditandai dengan ketika harga turun, produsen menurunkan produksi, perusahaan mengurangi tenaga kerja, dan masyarakat cenderung menunda konsumsi dengan harapan harga akan terus turun. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi melambat dan pengangguran meningkat. Salah satu contoh paling terkenal adalah “Lost Decade” di Jepang (1991–2001), di mana deflasi berkepanjangan menyebabkan stagnasi ekonomi selama lebih dari 10 tahun.  Di Jepang, harga aset (properti dan saham) anjlok, perusahaan mengurangi investasi, dan masyarakat menahan belanja karena ekspektasi harga terus turun. Bank Sentral Jepang (BOJ) bahkan menerapkan suku bunga 0% dan pelonggaran kuantitatif (QE), tetapi pemulihan tetap lambat karena psikologi deflasi telah tertanam kuat. Kasus Jepang menjadi pelajaran berharga bahwa deflasi bukan sekadar penurunan harga, melainkan siklus negatif yang sulit diputus tanpa kebijakan agresif.

Pada Mei 2025, Indonesia tercatat mengalami deflasi sebesar 0,37 persen secara bulanan seperti dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Fenomena deflasi ini terjadi dalam 3 bulan di tahun 2025. Data BPS 2025, Bulan Januari perekonomian mengalami deflasi tercatat angka deflasi sebesar 0,76%, Bulan Februari 0,48% dan bulan mei 0,37%. Deflasi biasanya terjadi karena efek dari dari penurunan permintaan, kelebihan kapasitas produksi, atau turunnya harga komoditas global.

ADVERTISEMENT

Dalam kasus Indonesia, deflasi yang terjadi saat ini didorong oleh beberapa faktor utama, antara lain:

Ketidakpastian Ekonomi Global dan Kecenderungan Menyimpan Uang

Dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti, seperti ancaman resesi global, ketegangan geopolitik, atau kenaikan harga komoditas, mendorong pelaku rumah tangga dan pelaku usaha cenderung menahan konsumsi dan menunda investasi. Akibatnya, terjadi penurunan permintaan, masyarakat lebih memilih menyimpan uang (meningkatkan tabungan) dibanding membelanjakannya, yang secara umum menekan peredaran uang di pasar. Data dari lps.go.id, pada januari 2025, jumlah simpanan di Bank Umum meningkat 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya sementara itu dari data Bank Indonesia 2025 yang diberitakan oleh CNBC Indonesia  pertumbuhan kredit untuk UMKM, pada maret tercatat 1,7% dan pada bulan februari 2,1%,pertumbuhan kredit ini jauh jika dibandingkan tahun tahun sebelumnya yang berada pada kisaran 4 – 5%. Data tersebut menunjukkan bahwa bahwa meskipun total simpanan masyarakat di perbankan mengalami peningkatan, pertumbuhan penyaluran kredit, khususnya kepada sektor UMKM, relatif lambat. Hal ini mencerminkan sikap kehati-hatian masyarakat dan pelaku usaha dalam mengelola keuangan mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global, seperti ancaman resesi dan ketegangan geopolitik. Kecenderungan untuk menabung daripada berinvestasi atau berbelanja dapat menekan peredaran uang di pasar, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional

Penurunan Daya Beli Masyarakat

Faktor seperti inflasi global pada tahun 2023 – 2024 yang tinggi, stagnasi pendapatan, atau naiknya biaya hidup (seperti harga energi atau pangan) membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Akibatnya, terjadi penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan penyumbang terbesar terhadap PDB nasional.  Data BPS menunjukkan konsumsi rumah tangga turun 3,2% pada Kuartal 1 2025, terutama untuk barang non-pokok seperti elektronik dan kendaraan. Penyebab utamanya adalah stagnasi upah riil (upah setelah disesuaikan inflasi) yang hanya tumbuh 0,8% YoY, sementara biaya hidup meningkat selama 2023–2024.

Kelebihan Kapasitas Produksi dan Penurunan Permintaan

Ketika permintaan masyarakat menurun, pelaku usaha kesulitan menjual barangnya, sehingga mereka mengurangi harga untuk menarik konsumen. Jika kondisi ini berlarut, perusahaan akan mulai mengurangi produksi, yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bertambahnya angka pengangguran memperparah siklus deflasi. Contoh kasus di Indonesia adalah kasus PT Sipatex, salah satu produsen tekstil terbesar di Majalaya, Jawa Barat, terpaksa mengurangi kapasitas produksi hingga 30% karena permintaan ekspor ke AS dan Eropa turun 20% data dari Bisnis.com, 2024.  Efek Domino: Penurunan produksi berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 5.000 pekerja di sektor tekstil sepanjang kuartal 1 tahun 2025, data dari Kementerian Ketenagakerjaan 2025. Direktur Operasional PT Sipatex, David Leonardi, menyatakan bahwa perusahaan menghadapi kesulitan karena tidak memiliki permintaan yang cukup untuk produk mereka.

Tertundanya Investasi dan Sektor Riil yang Melambat

Ketika permintaan barang dan jasa lesu, dunia usaha enggan melakukan ekspansi. Sektor riil seperti manufaktur, logistik, dan perdagangan akan terdampak karena terjadi kelebihan pasokan dan menurunnya marjin keuntungan. Ini juga menurunkan serapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga, yang berujung pada penurunan lebih lanjut terhadap konsumsi.

Lebih jauh, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ekonomi global yang sedang menghadapi tekanan signifikan sebagai faktor eksternal

Faktor Eksternal: Dampak Perlambatan Ekonomi Global

Krisis Ekonomi Tiongkok: Pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat menjadi 4,5% pada Kuartal 1 2025 (terendah sejak 1990), menyebabkan permintaan impor komoditas Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) merosot. Harga CPO, misalnya, turun 15% secara year-on-year (YoY) akibat penurunan permintaan dari Tiongkok, yang biasanya mengimpor 40% produksi CPO Indonesia.  

Kebijakan Moneter Ketat AS dan Eropa: The Federal Reserve (AS) dan Bank Sentral Eropa (ECB) mempertahankan suku bunga tinggi (masing-masing 5,5% dan 4,5%) untuk mengendalikan inflasi. Hal ini mengalihkan aliran modal asing dari negara berkembang seperti Indonesia ke pasar AS/Eropa, memperburuk likuiditas di dalam negeri.

Deflasi yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai respons, pemerintah meluncurkan paket stimulus ekonomi mulai 5 Juni 2025, dengan tujuan utama menjaga daya beli dan mendorong konsumsi domestik. Paket stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada Juni 2025 terdiri dari lima langkah utama:

1. Diskon Transportasi Publik

  • Diskon tiket kereta sebesar 30%
  • Diskon tiket angkutan laut sebesar 50%
  • Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 6% untuk tiket pesawat

Kebijakan ini diarahkan untuk mendorong mobilitas masyarakat, terutama saat liburan sekolah. Dengan meningkatnya mobilitas, diharapkan belanja masyarakat di daerah wisata dan sektor ritel juga akan meningkat. Namun demikian, efeknya bersifat jangka pendek dan lebih terasa di daerah wisata, belum tentu langsung mengangkat konsumsi rumah tangga secara keseluruhan, terlebih lagi ekonomi masyarakat kelas miskin karena minim penggunaan transportasi atau mobilitas.

2. Diskon Tarif Tol 20%

  • Ditujukan untuk 110 juta pengendara selama Juni-Juli 2025

Diskon ini mendukung mobilitas, namun dampaknya terhadap konsumsi tetap terbatas karena hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi. Artinya, stimulus ini belum menyentuh kelompok bawah yang terdampak paling besar oleh deflasi.

3. Penebalan Bantuan Sosial

  • Tambahan Rp200.000 untuk pemegang Kartu Sembako
  • Bantuan pangan beras 10 kg per bulan
  • Sasarannya 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM), disalurkan satu kali di bulan Juni

Ini merupakan langkah yang tepat sasaran untuk menjaga konsumsi masyarakat bawah. Namun, karena hanya diberikan satu kali dan waktunya terbatas, dampaknya terhadap peningkatan permintaan agregat nasional juga bersifat sementara. Idealnya, bantuan ini dilanjutkan hingga indikator daya beli benar-benar pulih.

4. Subsidi Upah

  • Rp300.000 per bulan untuk 17,3 juta pekerja dengan gaji di ba ETD  Mtfhghwah Rp3,5 juta

Langkah ini membantu kelompok buruh yang berisiko terdampak PHK atau pengurangan jam kerja. Namun, realisasi dan kecepatan penyalurannya menjadi kunci. Jika tidak cepat, efek penahanannya terhadap deflasi akan melemah.

5. Diskon Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

  • Potongan 50% untuk 2,7 juta pekerja di industri padat karya selama 6 bulan

Ini memberikan ruang bagi pelaku industri padat karya untuk menjaga kelangsungan usaha dan mempertahankan tenaga kerja. Namun, tidak semua sektor mendapat manfaat ini, sehingga efeknya pada konsumsi nasional juga terbatas.

Deflasi bukan hanya soal turunnya harga, tetapi juga cerminan melemahnya daya beli dan kepercayaan konsumen terhadap ekonomi. Langkah cepat pemerintah melalui paket stimulus adalah tindakan yang tepat, tetapi perlu pendekatan lebih agar tidak hanya mengatasi gejala jangka pendek, namun juga memperkuat fondasi kebijakan fiskal ke depan.  Ke depan, sinergi antara ketepatan data, dukungan sektor riil, transparansi implementasi, dan koordinasi pusat-daerah menjadi kunci agar stimulus benar-benar menciptakan pemulihan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh terhadap tekanan global.

 

Facebook Comments Box