Beranda Literasi Pemenuhan Hak Masyarakat Adat di Tengah Dominasi Kekuasaan: Telaah Republikanisme dan Otonomi...

Pemenuhan Hak Masyarakat Adat di Tengah Dominasi Kekuasaan: Telaah Republikanisme dan Otonomi Daerah

0
Rismawati Nur* Mahasiswa Pascasarjana UGM
Rismawati Nur* Mahasiswa Pascasarjana UGM

Oleh: Rismawati Nur*

Sebagai negara demokratis, Indonesia menerapkan sistem desentralisasi yang diyakini sebagai sarana untuk memperkuat kedaulatan rakyat melalui pemberlakuan otonomi daerah. Salah satu tujuan utama dari desentralisasi adalah mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada masyarakat lokal, termasuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi kelompok-kelompok yang secara historis termarginalkan, seperti masyarakat adat.

Secara normatif, keberadaan dan hak-hak masyarakat adat telah diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Namun demikian, pengakuan konstitusional tersebut belum sepenuhnya terefleksi dalam praktik desentralisasi dan kebijakan pemerintahan daerah. Masyarakat adat masih kerap tersingkir dari ruang-ruang pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka, khususnya dalam pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alam.

ADVERTISEMENT

Banyak kebijakan daerah justru mengabaikan kepentingan dan nilai-nilai lokal masyarakat adat, bahkan tidak jarang melahirkan konflik ketika hak-hak mereka dilangkahi oleh kepentingan ekonomi yang difasilitasi negara.

Di Papua, sebagian besar tanahnya merupakan wilayah adat dan/atau dikelola oleh masyarakat adat. Berdasarkan data tahun 2024, wilayah adat di Tanah Papua mencakup sekitar 13,4 juta hektare, di mana sekitar 92% atau 12,35 juta hektare di antaranya berpotensi ditetapkan sebagai hutan adat. Tetapi, tutupan hutan di Tanah Papua terancam mengalami deforestasi karena perluasan wilayah perkebunan dan penebangan kayu ilegal.

Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW) sejak 1992 hingga 2022, Tanah Papua telah kehilangan tutupan hutan primer sekitar 687 ribu hektare. Bahkan pada tahun 2025 ini Masyarakat adat dari Suku Betew dan Maya, yang tersebar di 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, mengalami konflik agraria sebab menolak kehadiran aktivitas pertambangan nikel yang rencananya akan berlangsung di Pulau Batanta dan Pulau Manyaifun.

Wilayah ini mencakup lebih dari 20.000 hektare yang akan dikelola oleh lima perusahaan tambang, seperti PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT GAG Nikel. Aktivitas eksploitasi ini tidak hanya mengancam keberlangsungan ekosistem pesisir dan laut, tetapi juga secara langsung berdampak pada mata pencaharian masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada kekayaan alam di sekitarnya.

Lebih dari itu, aktivitas pertambangan tersebut diduga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara eksplisit melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil yang memiliki nilai ekologis tinggi.

Namun ironisnya, izin tambang tetap diberikan oleh pemerintah, tanpa mekanisme konsultasi dan persetujuan dari masyarakat terdampak, dalam hal ini masyarakat adat secara bermakna yang semestinya dilakukan melalui prinsip free, prior, and informed consent (FPIC).

Fenomena ini menunjukkan bahwa desentralisasi yang diharapkan menjadi mekanisme pemberdayaan masyarakat lokal justru berubah menjadi saluran baru dominasi kekuasaan atas komunitas adat yang lemah secara politik.

Kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah tidak diiringi dengan kontrol yang ketat maupun mekanisme partisipasi yang substantif. Akibatnya, masyarakat adat mengalami ketidakpastian hukum, peningkatan konflik agraria, serta marginalisasi dalam proses-proses kebijakan yang menyangkut wilayah hidup mereka.

Dalam konteks ini, pendekatan teoritik republikanisme modern, terutama pemikiran Philip Pettit, menjadi relevan untuk membaca situasi tersebut. Republikanisme memaknai kebebasan bukan hanya sebagai ketiadaan intervensi (non-interference), tetapi lebih jauh sebagai ketiadaan dominasi (non-domination). Artinya, seseorang atau komunitas dianggap bebas apabila tidak tunduk pada kekuasaan yang sewenang-wenang dan berada dalam posisi yang memungkinkan mereka mempengaruhi aturan yang mengatur hidup mereka.

Termasuk praktik perizinan dan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan tanpa keterlibatan aktif masyarakat adat merupakan bentuk dominasi struktural, di mana negara dan korporasi memiliki kuasa sepihak atas tanah dan masa depan komunitas adat.

Dominasi ini semakin diperkuat oleh lemahnya representasi politik masyarakat adat dalam struktur pemerintahan daerah. Dalam banyak kasus, suara masyarakat adat nyaris tak terdengar dalam perumusan kebijakan karena tidak adanya mekanisme afirmatif, seperti kuota perwakilan atau lembaga konsultatif adat yang memiliki kekuatan hukum. Bahkan dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (PPMHA), hanya sebagian kecil pemerintah daerah yang benar-benar menunjukkan inisiatif dan keberpihakan.

Studi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, 2015) mencatat bahwa sebagian besar pengakuan hukum terhadap masyarakat adat di tingkat daerah masih bergantung pada kalkulasi politik, tekanan pasar, atau agenda elite lokal.

Situasi ini mencerminkan kegagalan otonomi daerah untuk menjalankan fungsinya secara substantif. Alih-alih menjadi sarana pemerataan dan partisipasi, otonomi justru memperkuat dekonsentrasi kekuasaan dari pusat ke daerah, tanpa menyentuh akar ketimpangan kekuasaan yang dialami masyarakat adat.

Dalam logika republikanisme, kondisi ini merupakan bentuk dominasi yang dilembagakan melalui hukum formal. Masyarakat adat tidak hanya kehilangan ruang partisipasi, tetapi juga kehilangan kontrol atas sistem hukum yang tidak mengakui validitas hukum adat sebagai dasar kedaulatan lokal.

Dalam sistem demokrasi yang ideal, masyarakat adat semestinya tidak hanya diposisikan sebagai entitas budaya yang dilestarikan, tetapi sebagai subjek politik yang otonom. Ketika hak-hak mereka hanya dijadikan formalitas legal tanpa perlindungan substantif, maka yang terjadi bukan demokrasi yang membebaskan, melainkan demokrasi prosedural yang menyingkirkan. Regulasi, birokrasi, dan pembangunan yang tidak berbasis pada keadilan ekologis dan sosial hanya akan mereproduksi ketimpangan lama dengan wajah baru.

Karena itu, kritik terhadap pemenuhan hak masyarakat adat tidak cukup diselesaikan melalui pembaruan teknis hukum atau administratif semata. Ia memerlukan perubahan paradigma dalam relasi antara negara dan komunitas adat.

Desentralisasi harus dimaknai sebagai peluang untuk memperkuat kedaulatan komunitas, bukan sekadar pelimpahan kewenangan kepada elite lokal. Negara wajib mendorong pembentukan mekanisme afirmatif, memperluas pengakuan hukum terhadap wilayah adat, serta menjadikan hukum adat sebagai rujukan sah dalam tata kelola wilayah dan sumber daya alam di daerah.

Dengan demikian, pemenuhan hak masyarakat adat membutuhkan lebih dari sekadar pengakuan; ia memerlukan keberanian politik untuk mewujudkan keadilan substantif dan membongkar struktur dominasi yang selama ini membungkam suara mereka. Dalam semangat republikanisme dan otonomi yang sejati, masyarakat adat harus dipulihkan posisinya sebagai warga negara yang berdaulat penuh atas tanah, identitas, dan masa depannya sendiri.

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Facebook Comments Box