Oleh: Engki Fatiawan*
Ada dua masalah serius yang dihadapi oleh wilayah pesisir pantai yaitu abrasi dan sampah plastik. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyampaikan bahwa 400 kilometer garis pantai di Indonesia telah tergerus abrasi. Dari total pantai sepanjang 745 kilometer, 44 persen diantaranya telah hilang. Di Sulawesi Selatan sendiri erosi pantai terjadi di semua daerah pesisir dan yang paling terparah ada di sepanjang Pantai Galesong, Kabupaten Takalar karena terdapat korban terdampak abrasi sebanyak 14 kepala keluarga di tahun 2024.
Masalah kedua yang dihadapi oleh wilayah pesisir adalah peningkatan jumlah sampah plastik yang hanyut terbawa gelombang laut. Berdasarkan perhitungan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terdapat 615.674 ton sampah plastik yang bocor ke laut Indonesia. Tumpukan sampah plastik di pesisir pantai ini mencemari lingkungan dan keberadaannya mengurangi estetika pantai. Akibatnya, terjadi penurunan wisatawan, berkurangnya keanekaragaman hayati, penurunan hasil tangkapan nelayan, dan ancaman mikroplastik bagi tubuh hewan laut dan manusia.
Degradasi lingkungan yang dihadapi oleh wilayah pesisir merupakan masalah yang terjadi sebagai akibat dari faktor alam dan faktor antropogenik (dipengaruhi oleh manusia). Faktor alam berupa perubahan iklim, pemanasan global, meningkatnya muka air laut dan tingginya gelombang pasang. Sedangkan faktor antropogenik berupa kegiatan deforestasi, penambangan pasir laut, pengurangan luas hutan mangrove dan rusaknya karang akibat penangkapan ikan yang eksploitatif. Sementara itu, sampah plastik sepenuhnya akibat dari faktor manusia yang tidak mampu mengelola sampah dengan baik.
Jika ditelisik lebih jauh, pada dasarnya kerusakan lingkungan global (perubahan iklim – pemanasan global) merupakan akibat dari kegiatan manusia di bumi. Perkembangan industri dan kemajuan teknologi menjadi pelopor kerusakan lingkungan saat ini. Emisi gas rumah kaca yang timbulkan menyelubungi bumi dan mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Gas rumah kaca yang terus meningkat disebabkan oleh pembakaran fosil dan deforestasi.
Kehilangan hutan yang terjadi saat ini cukup signifikan khususnya pada wilayah tropis. Menurut laboratorium GLAD Universitas Maryland dan Global Forest Watch, kehilangan hutan di wilayah tropis mencapai 6,7 juta hektar pada tahun 2024. Penyebabnya adalah kebakaran hutan dan alih fungsi hutan ke non hutan seperti lahan pertanian, industri perkebunan dan pertambangan, pengembangan permukiman, peladangan berpindah, dan penebangan kayu. Begitupun dengan hutan di wilayah pesisir, terjadi pengurangan luas mangrove sehingga berdampak pada terjadinya erosi pantai.
Kerusakan lingkungan yang terjadi tentu menimbulkan bencana yang dapat merugikan masyarakat. Abrasi pantai yang semakin tinggi bukan hanya menghilangkan pantai akan tetapi berpotensi menghilangkan ruang pemukiman warga dan tergerusnya lahan pertanian termasuk tambak. Sementara sampah plastik sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat yang bermukim di area pesisir. Oleh karena itu, penting kiranya dicarikan solusi alternatif untuk memitigasi dampak bencana khususnya abrasi dan sampah plastik di wilayah pesisir.
Dalam menanggulangi erosi pantai dapat dilakukan dengan metode alamiah dan metode konstruksi. Metode alamiah berupa penanaman mangrove pada area pantai, biasanya efektif dilakukan pada pantai yang memiliki topografi landai. Selanjutnya, yaitu dengan menjaga kelestarian terumbu karang dan memperkuat konservasi terumbu karang. Sedangkan metode konstruksi berupa pembuatan tanggul laut sepanjang pantai yang kerap terjadi abrasi, pembangunan pemecah gelombang, pembuatan dinding penahan dengan menggunakan geotekstil untuk mencegah erosi dinding tanah pada area pantai. Hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu pelarangan tambang pasir pantai dan lepas pantai serta pemanfaatan ruang pesisir yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Selain dari aspek teknis, pencegahan erosi pantai juga dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal masyarakat. Penguatan budaya lokal berupa kesadaran kolektif konservasi pesisir dan laut. Tradisi penangkapan ikan yang tidak merusak habitat perlu dikuatkan seperti, tradisi sasi di papua berupa tradisi penangkapan ikan tertutup untuk melindungi biota laut, tradisi lilifuk di Sulawesi Tenggara untuk menjaga kelestarian terumbu karang, tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Bajo serta penguatan pemahaman bumi (tanah dan air) adalah suatu kesatuan dengan diri manusia. Di Suku Kajang terdapat jabatan pemangku adat (Galla’ Malleleng) yang mengurusi masalah perikanan dan aturan penangkapan ikan yang sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, perlu dikuatkan dengan aturan dan kebijakan mulai dari tingkat lokal, daerah, hingga pusat. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran mitigasi bencana abrasi yang tepat sasaran untuk mencegah abrasi. Sementara itu, permasalahan sampah plastik yang ada di wilayah pesisir harus dikurangi dengan melakukan pengelolaan sampah pesisir dengan baik. Sampah plastik harus didaur ulang untuk menghasilkan produk yang siap pakai. Pembedayaan masyarakat lokal untuk mengelola sampah yang memiliki nilai ekonomi seperti pembuatan perabotan hias rumah tangga atau pembuatan batu bata dengan campuran plastik.
Terakhir, menjaga lingkungan harus muncul dari kesadaran setiap individu. Berangkat dari kesadaran setiap individu ini maka akan memunculkan kesadaran kolektif. Sehingga kesamaan visi dalam menjaga lingkungan dapat tercapai dengan baik.
*) Penulis adalah Ketua Korkom IMM Unhas & Alumni Ilmu Tanah Unhas.