Oleh: Rian Suheri Akbar, S.H.
(Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Pertama Bapas Kelas II Palopo Kementrian Imigrasi Dan Pemasyarakatan Ditjenpas Sulsel)
Korupsi sering disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Namun, perbincangan soal penyebab korupsi sering kali berpusat pada aspek moral, lemahnya hukum, atau pengawasan yang tidak optimal. Jarang sekali kita menilik akar persoalan yang lebih mendasar: rendahnya literasi masyarakat, baik literasi hukum, literasi etika, maupun literasi kebangsaan.
Literasi: Lebih dari Sekadar Membaca
Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis. Menurut UNESCO, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, mencipta, dan berkomunikasi menggunakan bahan cetak dan tertulis dalam berbagai konteks. Dalam konteks ini, literasi mencakup pemahaman akan hak, kewajiban, serta nilai-nilai kejujuran dan integritas.
Ketika individu tidak paham bahwa menerima gratifikasi adalah bentuk korupsi, atau menganggap “uang pelicin” sebagai budaya biasa, di situlah literasi hukum dan etika perlu dipertanyakan. Kurangnya pemahaman terhadap sistem hukum dan norma sosial membuat seseorang mudah tergelincir ke dalam praktik korupsi, bahkan tanpa rasa bersalah.
Korupsi Berakar pada Kebiasaan
Data Transparency International menunjukkan bahwa negara dengan indeks literasi tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya korelasi kuat antara pengetahuan masyarakat dan sikap mereka terhadap integritas.
Budaya permisif terhadap korupsi sering ditumbuhkan sejak dini: ketika anak-anak melihat orang tuanya membayar agar urusan di kantor cepat selesai, atau ketika siswa merasa wajar “membayar” guru demi nilai. Semua ini adalah bentuk kegagalan literasi etika yang sistemik.
Peran Pendidikan dan Media
Sistem pendidikan memegang peranan penting dalam membangun generasi yang melek literasi. Sayangnya, pendidikan kita lebih menekankan pada hafalan ketimbang pemahaman nilai. Kurikulum antikorupsi, jika pun ada, sering kali hanya bersifat simbolis.
Di sisi lain, media juga memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan literasi publik. Alih-alih hanya menyoroti kasus-kasus besar secara sensasional, media seharusnya lebih banyak mengedukasi publik tentang bentuk-bentuk korupsi sehari-hari dan bagaimana mencegahnya.
Solusi: Literasi sebagai Bentuk Pencegahan
Upaya pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan aparat penegak hukum. Edukasi literasi hukum dan etika harus ditanamkan sejak dini. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan media harus berkolaborasi menanamkan nilai-nilai antikorupsi dengan pendekatan berbasis literasi.
Seperti kata Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.” Maka, membangun budaya literasi yang kuat bisa menjadi langkah awal untuk memberantas budaya korupsi yang telah mengakar.
Korupsi bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah literasi. Selama masyarakat tidak paham apa yang benar dan salah secara hukum dan moral, maka korupsi akan terus tumbuh subur. Menyuburkan literasi bukanlah solusi instan, tetapi merupakan fondasi jangka panjang untuk membangun bangsa yang bersih, adil, dan bermartabat.