Beranda Mimbar Ide Bencana dan Respons: Publik Butuh Cerita yang Lengkap

Bencana dan Respons: Publik Butuh Cerita yang Lengkap

0
Tim SAR Gabungan melakukan proses evakuasi pendaki asal Brasil yang jatuh di jalur menuju puncak Rinjani. Foto: Instagram/@btn_gn_rinjani

Oleh : Milawaty

(Widyaiswara pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara)

Musibah di lokasi wisata kembali mengguncang perhatian publik. Kecelakaan di spot ekstrem, wisatawan hilang di alam terbuka, atau evakuasi yang terlambat kerap menjadi tajuk utama media nasional. Tidak sedikit masyarakat kemudian menyimpulkan bahwa sektor pariwisata kita belum siap, bahkan berbahaya. Namun di balik headline yang kelam, ada kerja-kerja nyata pemerintah yang sering kali luput dari perhatian.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebenarnya tidak diam. Setiap musibah justru menjadi momentum evaluasi sistem. Terlebih saat musibah tersebut menjadi viral. Jauh sebelum beberapa insiden tragis di destinasi ekstrem seperti air terjun, tebing pantai, atau jalur pendakian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama Kementerian PUPR dan BNPB telah memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam menyusun standar keamanan wisata berbasis risiko. Saran badan dunia World Tourism Organization (WTO) untuk menetapkan kebijakan keselamatan dalam meminimalkan risiko bagi wisatawan telah dilakukan, diantaranya Pedoman Keselamatan Wisatawan oleh Deputi Bidang Pengembangan Produk dan Usaha Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2003, Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata, dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata

Namun sayangnya, narasi yang berkembang di publik justru lebih sering menyoroti musibah dibandingkan kemajuan dan capaian positif daerah dalam mengelola pariwisata berkelanjutan. Pemberitaan tentang wisatawan yang terseret arus atau jatuh dari ketinggian viral dalam hitungan jam, sementara keberhasilan Indonesia menyabet penghargaan global di bidang pariwisata berkelanjutan, pengelolaan konservasi berbasis masyarakat, atau transformasi desa wisata menjadi destinasi kelas dunia, sering luput dari sorotan. Bahkan, banyak inisiatif lokal seperti pemasangan sistem peringatan dini, patroli wisata, dan kolaborasi dengan Basarnas nyaris tak diberitakan. Berapa lama pemberitaan terkait jalur evakuasi yang telah dibuat bertahan dan menjadi konsumsi publik? Apakah pemberitaan tentang pelatihan pemandu wisata lokal sudah sampai di mata, mulut, dan telinga publik? Seberapa banyak media yang mempublikasikan Tim Siaga Wisata Labuan Bajo yang terdiri dari gabungan BPBD, Basarnas, dan pemandu lokal? Publik lebih cepat menyorot tragedi daripada langkah mitigasi. Ini tentu saja menciptakan kesan bahwa sektor wisata ekstrem tidak aman..

Mengelola Krisis Wisata: Cara Negara Lain Menjaga Reputasi

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan keselamatan di lokasi wisata. Ada Jepang, Selandia Barum Grand Canyon, Himalaya, dan berbagai tempat di belahan bumi lainnya dipenuhi catatan kebencanaan.

Jepang dikenal dengan sistem manajemen krisis yang kuat. Saat insiden gempa besar melanda, pemerintah dan media Jepang tidak hanya memberitakan kerusakan dan korban jiwa, tetapi juga secara aktif menyiarkan upaya penyelamatan, kemajuan pembangunan ulang, hingga pelajaran yang diambil dari peristiwa tersebut. Media lokal turut mengangkat kisah relawan dan komunitas yang terlibat dalam proses pemulihan. Pemberitaan terkait korban jiwa dan hal-hal yang secara negatif mempengaruhi emosi pembaca diminimalkan. Sebaliknya yang ditonjolkan adalah hal-hal baik yang terjadi di wilayah bencana yang membawa semangat dan dampak positif.

Di Selandia Baru, ketika terjadi letusan White Island (Whakaari) pada 2019 yang menewaskan sejumlah wisatawan, pemerintah Selandia Baru secara terbuka mengakui kelemahan protokol keselamatan. Namun dalam waktu cepat, mereka juga merilis pembaruan SOP wisata vulkanik dan menampilkan pelatihan tanggap darurat yang dilakukan di destinasi ekstrem lainnya. Liputan media pun menekankan pada reformasi keselamatan, bukan hanya pada tragedi.

Taman Nasional di Kanada juga mengalami kecelakaan alam—seperti jatuhnya pendaki atau serangan satwa liar. Namun Parks Canada secara aktif mengedukasi publik lewat media sosial dan situs resmi mengenai langkah-langkah pencegahan, kondisi medan terkini, dan laporan mingguan. Selain itu, media mainstream di Kanada kerap memberi ruang pada narasi edukatif, bukan hanya dramatisasi insiden.

Destinasi sekelas Grand Canyon atau Himalaya pun punya catatan kecelakaan yang tak sedikit. Bedanya, di negara-negara tersebut, musibah selalu diikuti dengan laporan resmi tindak lanjut perbaikan, dan media menyoroti proses pembenahan, bukan hanya tragedi. 

Membangun Narasi yang Adil

Setiap kali terjadi bencana, gelombang rasa ingin tahu publik melonjak tajam. Di tengah kepanikan dan ketidakpastian, masyarakat haus akan informasi—dan di sinilah media memegang kendali. Ketergantungan yang tinggi terhadap informasi bencana membuat media punya kuasa besar untuk membentuk persepsi, menentukan sorotan, bahkan mempengaruhi reaksi publik. Alih-alih hanya sebagai penyampai fakta, media kerap menjadi aktor utama dalam membingkai narasi bencana, yang sayangnya tak selalu netral atau proporsional (Yusuf, 2006; Nazaruddin, 2007; Nazzarudin 2015 dalam Subagio, https://siapsiaga.or.id, 2024).

Hal ini didukung pula pada pernyataan Prajarto (2018 dalam Panuju, https://download.garuda.kemdikbud.go.id) bahwa jurnalis terjebak pada keasyikan membesarkan peristiwa melalui informasi terkait bencana. Korban bencana hanya dilihat sebagai magnitude sebuah berita. Dengan kata lain, media baru bergerak ketika bencana sudah terjadi, menjadikan pemberitaan sekadar reaksi atas suatu peristiwa.

Menurut Ressidwiana (2022 dalam https://ressidwiana.blog.uma.ac.id dan Wahyuni dalam https://media.neliti.com)  pada saat terjadi bencana, media berlomba menyajikan informasi terbaru. Sumber daya terbatas dan kompetisi antar media membuat media pengiriman setengah matang dan tidak berdasarkan riset. Akhirnya terjadilah narasi bencana yang dibuat media tidak jelas awal, tengah, dan akhirnya, plus tidak akurat, bias, dan berlebihan (Dresden Syndrome) Dresden Syndrome terjadi ketika media terlalu fokus pada kehancuran dan duka, tapi lalai mengangkat upaya pemulihan dan perbaikan. Sindrom ini bisa berdampak negatif pada persepsi publik, karena menanamkan pandangan bahwa tidak ada kemajuan, bahkan saat sebenarnya sudah banyak upaya dilakukan.

Ketika musibah wisata lebih sering disorot daripada upaya mitigasi, publik bisa terjebak pada narasi bahwa destinasi wisata Indonesia tidak aman dan pemerintah tidak sigap. Padahal, narasi tunggal yang lebih banyak menampilkan kegagalan justru kontraproduktif terhadap pemulihan sektor pariwisata pasca krisis. Apalagi, sektor ini melibatkan mata pencaharian jutaan orang, dari pemandu lokal, porter, sopir, UMKM, hingga pengelola destinasi. Faktor keselamatan dan keamanan wisatawan menjadi permasalahan serius yang mengganggu pertumbuhan pariwisata.

Sorotan negatif yang tidak seimbang juga memengaruhi kepercayaan investor, pelaku industri perjalanan, bahkan calon wisatawan asing. Sebaliknya, narasi yang berimbang—yang tetap kritis namun memberi ruang pada cerita perbaikan—dapat memulihkan kepercayaan secara lebih cepat. Dalam konteks bencana atau kecelakaan, publik sebenarnya tidak hanya ingin tahu apa yang salah, tetapi juga apa yang dilakukan setelah itu. Pendekatan “bad news is a good news” sudah tidak lagi tepat diletakkan dalam konteks menjaga reputasi pariwisata. Justru itu akan menciptakan bencana baru, sebagaimana dituliskan Arif (2021) dan Judhita (2014) (dalam Subagio, https://siapsiaga.or.id, 2024).

Kita perlu membangun narasi yang adil: mengkritisi dengan data, tetapi juga mengapresiasi upaya nyata. Perlu diingat, promosi wisata bukan sekadar soal memperkenalkan destinasi, tetapi juga menunjukkan bahwa negara hadir melindungi siapa pun yang datang. Pemerintah telah bergerak, kini saatnya media dan publik ikut mendorong transparansi, memperkuat literasi keselamatan, mengangkat praktik baik di lapangan dan menceritakan upaya itu secara proporsional, bukan hanya menyuarakan tragedi semata. Bagaimanapun, kegiatan pariwisata selalu memiliki potensi bahaya (hazard). Di sinilah pentingnya peran mitigasi kebencanaan untuk mengidentifikasi risiko dan mengelolanya secara tepat. Aspek inilah yang juga layak mendapat sorotan media secara berkelanjutan

Menyeimbangkan pemberitaan antara tragedi dan aksi mitigasi bukan berarti menutup-nutupi kenyataan, melainkan mendorong narasi yang konstruktif. Terus-menerus disuguhi kabar duka justru membunuh semangat perubahan. Media dan pemerintah perlu saling bersinergi membangun narasi konstruktif—mengabarkan yang rusak, namun juga merayakan yang dibenahi. Pemerintah perlu lebih proaktif dalam menyampaikan upaya-upaya dan progres dalam memberikan kenyamanan dengan tetap memprioritaskan keselamatan wisatawan ke publik, sementara media berperan penting dalam menyebarkan cerita-cerita pemulihan, pembelajaran, dan praktik baik.

Sudah saatnya kita membangun budaya komunikasi krisis yang lebih adil dan edukatif, sebagaimana dicontohkan negara-negara lain yang tetap menjaga reputasi pariwisatanya di tengah tantangan. Pariwisata Indonesia bisa pulih lebih kuat jika masyarakat percaya bahwa keselamatan bukan sekadar slogan, melainkan komitmen nyata. Dan itu butuh lebih dari kebijakan—itu butuh cerita yang lengkap.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT