Beranda Mimbar Ide Retret Sekda: Menumbuhkan Sinergi atau Menambah Simbolisme?  

Retret Sekda: Menumbuhkan Sinergi atau Menambah Simbolisme?  

0

Oleh : Fajar Lingga Prasetya.,S.AB

(Analis Kebijakan Ahli Pertama Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara)

Kementerian Dalam Negeri tengah merencanakan agenda retret nasional bagi seluruh Sekretaris Daerah (Sekda), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang sebelumnya telah menggelar retret bagi para menteri dan kepala daerah di Magelang. Retret kepala daerah tersebut menuai perhatian karena menghadirkan pendekatan militeristik, penanaman disiplin, dan loyalitas sebagai strategi penyamaan visi pembangunan nasional.

Dalam kerangka yang sama, retret Sekda ditujukan untuk mempercepat sinergi kebijakan pusat dan daerah serta meningkatkan efektivitas birokrasi pemerintahan. Dukungan politik terhadap inisiatif ini pun menguat. DPR melalui Komisi II menyambut baik rencana tersebut. Wakil Ketua Komisi II, Dede Yusuf yang disampaikan pada media Kompas.com pada tanggal 26 Juni 2025, menegaskan bahwa Sekda merupakan“tandem” strategis kepala daerah. Ia memegang kendali teknis dalam pengelolaan APBD, alokasi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan menjadi penentu keberhasilan pelaksanaan program prioritas presiden di tingkat daerah.

Dengan peran sepenting itu, banyak pihak menilai bahwa penyamaan visi dan penguatan kapasitas Sekda melalui retret adalah langkah logis dan perlu. Namun demikian, rencana initetap menyisakan pertanyaan fundamental.

Apakah retret benar-benar merupakan solusi substantif terhadap masalah koordinasi pembangunan antara pusat dan daerah?

Ataukah ia sekadar menjadi simbol politik yang mengalihkan perhatian dari kegagalan sistemik dalam integrasi perencanaan dan kelembagaan?

Kepala Bappenas pada tahun 2023 sendiri mengakui adanya banyak deviasi antara RPJMD kabupaten/kota dengan RPJMN. Salah satu penyebab utama adalah perbedaan kalender politik pusat dan daerah, serta ruang kreativitas yang terlalu luas di level lokal sehingga RPJMD tidak selalu mengacu pada target nasional. Janji politik kepala daerah juga seringkali tidak sinkron dengan sasaran pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN. Hal ini memperkuat dugaan bahwa sinkronisasi dan pendampingan teknis dari pusat, khususnya Bappenas, belum berjalan optimal.

Ketidakharmonisan ini tidak hanya berdampak pada efektivitas pembangunan, tetapi juga menciptakan ketegangan koordinatif antara pusat dan daerah.

Kritik atas Program Retret untuk Sekda: Sekda BukanlahPejabat yang Minim Kapasitas

Meski retret tampak menjanjikan secara konseptual, wacana penyelenggaraannya perlu dikaji lebih jernih. Sekda adalah pejabat pimpinan tinggi pratama yang telah melalui proses seleksi berbasis merit, memiliki rekam jejak struktural, dan telah mengikuti pelatihan kepemimpinan seperti Diklatpim atau Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) baik itu tingkat II ataupun Tingkat I. Mereka tidak hanya memahami tata kelola birokrasi daerah, tetapi juga sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran publik.

Karena itu, menjadi kurang tepat apabila retret disusun sebagai forum penguatan kapasitas umum. Retret yang bersifat singkat, simbolik, dan tidak berbasis problem nyata berpotensi kurang efisien jika tidak diikuti dengan tindak lanjut dari lembaga yang terkait secara konkret.

Lebih jauh, akar dari lemahnya sinergi pembangunan bukanlah ketidaksiapan individu Sekda, melainkan masalah sistemik yang lebih dalam. Tumpang tindih regulasi antar-kementerian, inkonsistensi antar program sektoral, dan ketidaksesuaian waktu perencanaan antara pusat dan daerah adalah contoh nyata masalah kelembagaan yang tidak cukup diselesaikan dengan forum retret semata.

Bangun Reformasi Sistemik, Bukan Sekadar Forum Simbolik

Pendekatan yang lebih relevan adalah membangun solusi yang bersifat sistemik, bukan simbolik. Masalah ketidaksinkronan antara kebijakan nasional dan kebijakan daerah tidak cukup diselesaikan dengan forum-forum seremonial seperti retret. Pemerintah daerah tidak hanya membutuhkan pengarahan atau motivasi sesaat, tetapi justru sangat membutuhkan pendampingan teknis yang terstruktur, konsisten, dan kontekstual dari lembaga pusat, terutama Bappenas dan Kemendagri. Pendampingan ini harus dimulai sejak awal, yakni pada tahap penyusunan RPJMD, agar arah pembangunan daerah benar-benar sejalan dengan RPJMN, serta dapat dijalankan sesuai dengan kondisi dan kapasitas daerah masing-masing. Lebih dari itu, proses pendampingan juga harus bersifat partisipatif—bukan sekadar mengawasi dari pusat, tetapi menjadi mitra dialogis dalam merancang perencanaan jangka menengah daerah.  

Manfaat dari pendampingan ini sangat nyata. Ketika Bappenas dan Kemendagri aktif terlibat sejak awal, maka integrasi program nasional ke dalam dokumen RPJMD menjadi lebih terarah dan terukur. Pemerintah daerah dapat memahami prioritas pembangunan pusat secara lebih utuh, menghindari duplikasi program, serta memanfaatkan anggaran secara lebih efektif. Bappenas, misalnya, dapat membantu daerah dalam menyusun indikator kinerja yang selaras dengan target RPJMN, merancang strategi intervensi tematik berdasarkan data makro dan sektoral, serta mendorong harmonisasi lintas sektor dan lintas wilayah. Sementara Kemendagri, melalui sistem SIPD, dapat memastikan bahwa hasil perencanaan tidak hanya berhentidi dokumen, tetapi juga terimplementasi dalam proses penganggaran, pelaporan, dan evaluasi. Dengan pola pendampingan yang tepat, proses perencanaan di daerah tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, melainkan menjadi bagian dari satu sistem pembangunan nasional yang lebih solid dan berkelanjutan.

Selain Bappenda dan Kemendagri, LAN RI juga memiliki fungsi yang dapat dilakukan disini. LAN RI memiliki posisi yang sangat strategis untuk memastikan retret Sekda tidak berhenti sebagai acara seremonial melainkan menjadi pintu masuk pengembangan kapasitas ASN yang berkelanjutan. Setelah retret selesai, Sekda tidak bisa dibiarkan kembali kerutinitas lama tanpa ada pendampingan lebih lanjut. Di sinilah peran LAN bisa masuk, dengan merancang pelatihan dan coaching tematik/pasca retret yang lebih praktis dan mudah dipahami para sekda, bukan lagi pelatihan manajerial yang terlalu umum, tapi berbasis masalah nyata yang dihadapi daerah. Misalnya, bagaimana menghadapi tarik-menarik kepentinganantar-OPD? Bagaimana mengelola program prioritas pusatdengan anggaran terbatas? Atau bagaimana mendorong digitalisasi pelayanan publik tanpa mengorbankan kualitas dan kecepatan layanan? Hal-hal semacam ini justru menjadi kebutuhan harian Sekda yang jarang disentuh. Lebih dari itu, LAN RI bisa membangun forum belajar yang hidup dan berkelanjutan, tidak hanya sekali pertemuan. Bisa lewat platform digital yang memungkinkan Sekda saling berbagi praktik baik, berdiskusi soal kebijakan, atau bahkan membentuk komunitas antar daerah.

Lebih penting lagi, setiap bentuk retret atau pelatihan strategis harus terhubung langsung dengan sistem evaluasi dan reformasi kelembagaan. Pemerintah pusat perlu menyusun mekanisme monitoring dan evaluasi yang bukan hanya mengukur kehadiran dan komitmen formal, tetapi juga menilai apakah hasil dari kegiatan tersebut benar-benar terinternalisasi dalam dokumen dan praktik pemerintahan di daerah.

Retret Sekda bukan sesuatu yang keliru, tetapi jika dibiarkan menjadi forum simbolik tanpa dukungan sistemik, maka efektivitasnya patut dipertanyakan. Menumbuhkan semangat untuk bersinergi tidak cukup dengan menyatukan orang dalam forum, tapi harus disertai dengan pembenahan sistem regulasi, komunikasi kebijakan, dan reformasi manajemen kinerja. Dalam konteks inilah, solusi yang bersifat jangka panjang dan berbasis kelembagaan harus lebih diutamakan dari pada solusi instan yang hanya tampak strategis di permukaan.

 

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT