Oleh : Ahmad Yani*
Berawal dari pembagian kelender gratis salah satu calon legislatif (caleg), terlihatlah gambar sosok wajah yang tak asing bagiku di kalender itu. Seingatku, aku pernah melihat sosok wajah itu, ‘tapi di mana yah?’. Lalu aku berusaha untuk mengenalinya kembali. Aku ingat, aku pernah melihatnya 5 tahun yang lalu. Tepat di tahun 2014, aku melihatnya di kalender caleg, dan konon pada waktu itu ia berhasil terpilih. Kini rupanya ia kembali mencalonkan diri.
Aku langsung tersenyum kecut, seraya mengomel dalam hati ‘Ini orang lucu juga! Hanya muncul ketika menjelang pemilihan caleg (pileg). Kelender dibagi-bagikan kepada masyarakat agar masyarakat memilihnya kembali. Dulunya juga begitu dan setelah ia terpilih, tahun berganti tahun tak satupun kabar darinya menyapa masyarakat. Entah apa yang dia lakukan hampir 5 tahun belakangan ini, namun tak satupun langkahnya menjemput aspirasi kami. Dan kini memperlihatkan wajah “anggunnya” kembali ketika menjelang pileg. Emangnya masyarakat itu bodoh?, cukup sekali lah kami tertipu oleh modus kekuasaanmu!’ Itulah nada kesal terhadap caleg yang hanya berorientasi pada kekuasaan semata.
Modus atau cara seperti ini memang kerap ditemukan di berbagai daerah menjelang pileg. Dan tak jarang masyarakat menjadi korban atas modus tersebut. Padahal pada hakikinya, konstestasi pileg dapat diartikan sebagai langkah awal untuk menuju kursi kekuasaan agar dikemudian hari kekuasaan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Namun kebanyakan dari mereka justru menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir dari konstestasi pileg. Mereka hanya dekat pada masyarakat pada saat kampenye dan ketika terpilih mereka cenderung menjauh dan sangat arogan kepada “sang pemberi mandat” tersebut. Jika kondisi ini adalah nyata, maka tepatlah bahwa konstestasi pileg juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk mereformasi dan mengganti elit-elit perlemen yang tidak kapabel dan cenderung lalai dalam menjalankan aspirasi rakyat. Apalagi mereka yang suka menggunakan modus dalam kampenye untuk meraih kekuasaan, adalah kewajiban masyarakat (pemilih) untuk mengeliminasinya agar tidak menduduki kursi parlemen.
Menjelang pileg, berbagai modus yang diperagakan oleh caleg kini semakin terlihat dengan jelas. Pada lazimnya modus seperti modifikasi dadakan pada kendaraan pribadi roda empat yang disulap menjadi “mobil sosial”, “mobil bantuan umum”, bahkan “mobil ambulance” yang dioperasikan secara gratis dan bergambarkan wajah caleg tertentu. Sekilas terlihat bahwa kendaraan yang beroperasi ini merupakan bukti kepedulian caleg tersebut kepada masyarakat sekitar. Namun ini tak lebih dari modus para caleg, sebab pasca penyelenggaraan pileg, mobil tersebut disulap kembali menjadi kendaraan pribadi dan tidak lagi operasikan sebagai layanan umum —hanya dioperasikan pada masa kampanye. Modus lain, misalnya pola intraksi caleg dengan masyarakat semakin intensif dan sangat dekat. Para caleg ketika menyambangi kediaman masyarakat sekitar nampak berbaur, dekat, interaktif, dan dipenuhi suasuna keakraban. Bahkan tak masalah bagi caleg untuk mengunjungi daerah-daerah terpencil yang kumuh demi untuk menyapa dan berdialog langsung dengan warga sekitar. Secara sepintas, perilaku ini menggambarkan sosok “wakil rakyat” yang peduli dan dekat kepada rakyat. Namun, ini juga bagian dari modus para caleg, sebab setelah ia terpilih kebanyakan dari mereka justru sangat alergi dengan masyarakat dan sangat jarang diantara mereka yang kembali menyambangi daerah-daerah terpencil untuk menampung aspirasi masyarakat, layaknya seperti saat kampanye.
Tidak hanya itu, modus lainnya juga dapat ditemui oleh banyaknya caleg yang membagikan sumbangan terhadap pengerjaan tempat-tempat umum, pemberian semabako para korban bencana alam, dan pemberian bantuan kepada masyarakat ekonomi rendah. Nampak bahwa sejumlah bantuan ini merupakan ketulusan hati para caleg kepada masyarakat. Akan tetapi, ini juga relatif modus sebab tak sedikit dari mereka setelah terpilih justru berusaha mengembalikan dana kampanye melalui jalan sesat yakni melalui perilaku koruptif terhadap uang rakyat. Modus semantik lainnya adalah pemberian untaian janji-jani politis kepada masyarakat yang terkesan tak berfaedah. Mereka biasanya menjajikan ini dan itu, namun ketika terpilih mereka cenderung bermalas-malasan, dan hampir tak satupun janji mereka terealisasi, sebab mereka memiliki kecenderungan menjadikan kantornya sebagai tempat tidur yang nyenyak. Begitupula pemberian sejumlah uang kepada pemilih atau yang lebih dikenal sebagai “serangan fajar” merupakan serangkaian modus dari caleg yang cukup memprihatikan.
Berbagai modus atau cara yang dilakukan oleh caleg di atas merupakan upaya untuk meraih kekuasaan. Jika dilihat dari perspektif ilmu politik, cara untuk memperoleh kekuasaan disebutkan: pertama, “rational persuasive” yakni cara-cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara memengaruhi melalui pendekatan alasan yang logis dan fakta-fakta agar masyarakat tertarik padanya; kedua, “manipulative persuasive” yakni tindakan untuk memegaruhi masyarakat melalui serangkaian upaya yang bersifat memanipulasi sehingga masyarakat tidak sadar bahwa upaya tersebut adalah cara untuk memikat hati mereka; ketiga, “coercion” yakni dengan cara paksaan; keempat, “physical force” yakni dengan kekuataan fisik; kelima, “money politic” yakni melalui politik uang; keenam, “nepotism” yaitu sebab adanya pertalian hubungan keluarga; dan ketujuah “conspiration” yaitu perencanaan yang bersifat rahasia dan terselubung dan dilakukan secara ilegal. Terhadap tujuh cara ini, jika kemudian dikaitkan dengan berbagai modus para caleg yang telah dikemukan sebelumnya, maka harus diakui bahwa cara “manipulative persuasive” dan “money politic” adalah cara yang paling dominan digunakan dalam mengambil simpati masyarakat.
Maka dari itu, masyarakat sebagai pemilih harus mengenali secara dini figur caleg. Masyarakat juga harus menjadi pemlih cerdas dengan mengunakan kemampuan logika dan penalarannya untuk menilai integritas, kapasitas, dan moralitas caleg secara objektif sehingga menghasilkan pilihan yang tepat. Yang lebih utama adalah masyarakat harus menghindari modus “manipulative persuasive” dan “money politic” yang diperagakan oleh oknum caleg menjelang pileg, dan bahkan mem-“blacklist” nama-nama mereka yang melakukan modus tersebut.
Terakhir, teringat beberapa waktu lalu aku mendapati spanduk kampenye salah satu caleg yang pajang di pinggir jalan bertuliskan kata-kata sementik. Dalam hati saya berkata, ‘mudah-mudahan ini bukan modus, dan kalau ini modus berarti…,’ Tak sempat menyelesaikan praduga itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar rumahku. Aku beranjak dan mengahampirinya, ternyata warga satu kampungku yang menyodorkan sepaket stiker salah satu caleg dan memintahku untuk menempelnya di dinding rumah. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa terbahak-bahak dan bilang ini “modus”, namun aku lebih menghargai tetanggaku itu. Akupun menerimanya dan mengucapkan terimakasih.
*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah