Beranda Mimbar Ide Aldi Maldini dan Beban Selebritas

Aldi Maldini dan Beban Selebritas

0
Moch. Fauzan Zarkasi, SH., MH*.
Moch. Fauzan Zarkasi, SH., MH*.

Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.,*

Ada kalanya kejahatan tak bermula dari niat jahat, tapi dari niat terlihat baik di depan kamera. Beberapa hari terakhir, Aldi Maldini muncul bukan dalam formasi boyband, tapi dalam bentuk yang paling sunyi dari seorang publik figur: klarifikasi. Ia meminta maaf atas kasus dugaan penipuan melalui skema “dinner berbayar bersama fans” yang tak pernah terjadi. Pengakuannya cukup gamblang: tekanan ekonomi, utang, dan gaya hidup.

Ia berkata, “Saya khilaf.”

Tapi mari kita berhenti sejenak. Bukan untuk menghakimi, bukan pula untuk membela. Hanya mencoba menelusuri jalur panjang dari khilaf yang sering kali lahir dari sistem sosial yang rusak diam-diam.

ADVERTISEMENT

Jalan Pintas Selebritas

Di dunia selebritas, kamera tak hanya merekam, tapi juga menuntut. Tak ada ruang untuk tampil biasa-biasa saja. Kita lebih suka melihat mereka yang hidup mewah, berpakaian mahal, dan liburan setiap bulan, meskipun tak semua dari mereka sanggup mendanai gaya hidup dengan pekerjaan yang dimiliki. Segala kekurangan harus ditutupi. Tagihan menumpuk tetap harus terlihat manis.

Inilah yang disebut strain theory oleh sosiolog Robert K. Merton. Ia bilang, dalam masyarakat modern, ada tujuan-tujuan sosial yang dipuja, seperti sukses, kaya, glamor. Tapi tak semua orang memiliki cara yang sah untuk mencapainya. Di sinilah lahir “inovasi menyimpang”: ketika individu tetap mengejar tujuan itu, tapi dengan jalan pintas. Mungkin dengan skema tipu-tipu. Mungkin dengan utang yang tak terbayar. Mungkin, seperti dalam kasus ini, menjual harapan palsu dalam bentuk “dinner bersama fans”.

Kejahatan semacam ini tidak brutal, tidak berdarah, tapi tetap menyisakan luka. Dan luka itu bukan hanya bagi korban, tapi juga bagi pelaku, yang perlahan-lahan kehilangan mukanya sendiri di hadapan cermin.

Disonansi Kognitif Para Selebritas

Bukan Aldi saja. Pada tahun 2024, publik digegerkan dengan kasus Fico Fachriza yang menipu sejumlah artis. Ia mengaku uang yang diperoleh dipakai untuk menutup pinjaman online yang menumpuk. Ada pula kasus mantan pesepak bola Inggris, Paul Gascoigne, yang bangkrut setelah pensiun meski dulu bergaji miliaran. Sebagian dari mereka memelihara gaya hidup selebritas bahkan setelah panggung tak tersedia. Di Amerika, aktris Lindsay Lohan pernah tersandung berbagai kasus hukum setelah masa kejayaannya meredup, imbas tekanan psikologis dan lingkungan selebritas yang keras.

Dalam kacamata kriminologi klasik, ini bisa disebut sebagai hasil dari pilihan rasional yang keliru. Tapi kriminologi modern tak lagi sesederhana itu. Edwin Sutherland, misalnya, memperkenalkan konsep white-collar crime. Kejahatan yang dilakukan bukan karena kemiskinan, tapi karena status sosial. Aldi, dan selebritas lain yang terjerat kasus serupa, tak berangkat dari lapar akan roti, melainkan lapar akan citra.

Psikolog sosial seperti Leon Festinger menyebut fenomena ini sebagai dissonansi kognitif. Ketika citra yang kita tampilkan tidak sesuai dengan kondisi batin atau finansial, maka muncul ketegangan psikologis. Banyak yang akhirnya memilih “menyesuaikan kenyataan dengan pencitraan”, ketimbang jujur dan kehilangan muka. Dalam dunia selebritas, kehilangan muka bisa berarti kehilangan segalanya, seperti kontrak, follower, bahkan harga diri.

Masyarakat Ikut Bertanggung Jawab

Sayangnya, masyarakat pun ikut bermain dalam pusaran ini. Kita menciptakan budaya konsumtif yang mengagungkan pencitraan. Kita lebih cepat memuji pameran barang mewah daripada perjuangan hidup yang biasa-biasa saja. Dan ketika selebritas jatuh karena tekanan citra itu, kita beramai-ramai menyalahkan mereka, seolah kita tak pernah ikut menyulut apinya.

Aldi sudah minta maaf. Itu penting, meski tentu belum cukup. Tapi yang lebih penting adalah refleksi yang bisa kita tarik. Bahwa kejahatan bisa lahir dari tekanan ekspektasi. Bahwa tak semua orang kuat hidup dalam sorotan. Bahwa kamera bisa membutakan, terutama jika kita hanya menggunakannya untuk menunjukkan yang palsu.

Kita hidup di zaman di mana semua orang bisa menjadi selebritas, dan semua selebritas bisa menjadi tersangka. Di tengah budaya serba tampil ini, kita perlu menghidupkan ulang satu nilai yang perlahan hilang, yakni kejujuran, termasuk pada diri sendiri.

Mungkin, sudah waktunya kita belajar menikmati hidup yang sederhana, tanpa harus menjelaskan kepada siapa pun, terutama kepada kamera.

*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box