Beranda Mimbar Ide Safety Tourisme ; Dari Cerita Wisata menjadi Citra Negara di Mata Internasional

Safety Tourisme ; Dari Cerita Wisata menjadi Citra Negara di Mata Internasional

0

Oleh : Nur Khasanah Latief

(Analis Kebijakan pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)

Beberapa waktu lalu, jagat media internasional kembali menyoroti Indonesia. Hal tersebut bukan karena keindahan lanskapnya, tetapi karena tragedi yang menimpa seorang pendaki asal Brasil ditemukan meninggal dunia setelah jatuh dan terjebak di jurang Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Proses evakuasinya yang terhambat oleh medan ekstrem dan cuaca buruk membuka perbincangan soal lemahnya sistem keamanan dan evakuasi di lokasi wisata Indonesia, terutama yang bersifat ekstrem dan terpencil.

Sayangnya, ini bukan kali pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan serangkaian insiden tragis yang menimpa wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, di berbagai destinasi unggulan. Pada tahun 2018, dunia dikejutkan oleh insiden kapal wisata tenggelam di Danau Toba, Sumatera Utara, yang menewaskan lebih dari 160 orang menjadi salah satu kecelakaan transportasi air paling mematikan dalam sejarah Indonesia modern. Di tahun yang sama, seorang turis asal Jerman meninggal saat menyelam di perairan Pulau Menjangan, Bali Barat, akibat keterlambatan penanganan darurat.

Tahun 2019, seorang pendaki asal Malaysia ditemukan meninggal dunia di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, setelah terjebak badai di jalur pendakian tanpa pengawasan yang memadai. Di Sungai Elo, Magelang, insiden wisata arung jeram yang menewaskan siswa SMP pada tahun 2020 memperlihatkan bagaimana pengabaian terhadap standar operasional keselamatan bisa berujung petaka. Bahkan pada awal 2024, turis asal Korea Selatan tenggelam di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, karena tidak adanya sistem peringatan dini arus balik (rip current) dan pengawasan yang memadai.

Meski setiap kejadian memiliki konteks unik dan tidak semua kesalahan bersumber dari pemerintah, namun pola berulangnya dari gunung hingga laut, dari arung jeram hingga danau cukup menjadi alarm bahwa sistem pengelolaan keamanan wisata kita masih jauh dari ideal, terlebih jika ditinjau dari perspektif wisata berkelanjutan dan tanggung jawab negara atas keselamatan publik.

Bukan Sekadar Soal Citra dan Pemasukan

Selama ini, pembangunan sektor pariwisata cenderung berpijak pada logika pendapatan dan promosi. Kita bangga dengan pertumbuhan angka kunjungan, dengan lonjakan kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan dengan status “destinasi super prioritas”. Namun dalam euforia tersebut, pertanyaan yang sering luput diajukan adalah: apakah pengunjung domestik maupun mancanegara merasa aman?

Banyak pemerintah daerah berlomba mempercantik objek wisata, membangun spot swafoto, menata area parkir, atau membuka jalur pendakian baru. Namun, masih sedikit yang menginvestasikan cukup anggaran dan perhatian pada pelatihan pemandu wisata, sistem peringatan dini bencana, hingga standar operasional evakuasi. Bahkan, ketersediaan peta jalur evakuasi dan alat komunikasi darurat pun masih bisa disebut mewah di banyak lokasi.

Ketimpangan fokus inilah yang membuat pariwisata kita rawan: mengundang banyak orang datang, tanpa memastikan sistem pengamanannya.

Masalah Struktural: Fragmentasi dan Ketidakjelasan Peran

Kendala utama bukan semata keterbatasan dana atau teknologi, melainkan pada lemahnya koordinasi dan desain kelembagaan. Saat terjadi kecelakaan pada tempat wisata, siapa yang bertanggung jawab? Apakah Dinas Pariwisata atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)? Atau mungkin pihak swasta penyedia jasa wisata? Nyatanya, banyak daerah tidak memiliki satuan koordinatif khusus yang bertugas menangani aspek keselamatan wisatawan secara menyeluruh.

Di sebagian besar daerah, penanganan keamanan wisata masih sektoral: BPBD menangani bencana, Dinas Pariwisata fokus promosi, sementara SAR tidak selalu terlibat kecuali diminta. Kemudian, tidak semua daerah punya unit lintas sektor yang formal, aktif, dan memiliki kewenangan regulatif, seperti Tourist Safety Command Center yang kita temukan di negara-negara seperti Jepang atau Thailand. Adanya inisiatif seperti desa wisata tangguh bencana, SOP mitigasi risiko lokasi wisata, atau tim tanggap wisata umumnya didorong oleh donor (misalnya UNDP) atau program nasional (Kemenparekraf/BNPB).

Ketiadaan standar keamanan nasional berbasis tipologi destinasi yang diadopsi daerah membuat setiap lokasi wisata berjalan dengan caranya sendiri. Ada yang bagus karena inisiatif lokal atau keberadaaan relawan, ada pula yang tak pernah memiliki SOP dasar. Padahal, keselamatan pengunjung adalah bagian dari hak wisatawan dan tanggung jawab negara. Dalam konteks global, ini menjadi bagian dari reputasi dan kepercayaan internasional.

Memahami Safety Tourism sebagai Pilar Utama Pengelolaan Wisata

Safety tourism adalah pendekatan pengelolaan pariwisata yang menempatkan keselamatan dan kenyamanan pengunjung sebagai fondasi utama, bukan sekadar pelengkap atau tanggapan reaktif setelah terjadi insiden. Dalam konsep ini, keberhasilan pariwisata tidak hanya diukur dari jumlah kunjungan dan pendapatan, tetapi juga dari tingkat kesiapan destinasi dalam mencegah, merespons, dan memitigasi risiko yang mungkin dialami wisatawan.

Beberapa negara yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai motor ekonomi telah lebih dahulu mengadopsi pendekatan safety tourism secara serius dan menyeluruh. Jepang, misalnya, dikenal luas bukan hanya karena keindahan alam dan budayanya, tetapi juga karena sistem keamanan wisatanya yang sangat terstruktur. Pemerintah Jepang memiliki Tourism Crisis Management Guidelines yang berlaku di semua prefektur, dan setiap destinasi wisata utama—seperti Gunung Fuji atau jalur pendakian Kumano Kodo—dilengkapi dengan sistem informasi cuaca real-time, peringatan dini gempa, jalur evakuasi terintegrasi, serta pelatihan rutin untuk petugas wisata dan relawan setempat. Data dari Japan Tourism Agency mencatat bahwa angka kecelakaan wisatawan asing menurun hampir 40% dalam lima tahun terakhir (2015–2019), sebelum pandemi, seiring penerapan manajemen risiko yang terstandarisasi.

Thailand, negara dengan sektor pariwisata yang sangat kompetitif, juga menjadikan keselamatan sebagai bagian dari citra nasionalnya. Sejak tragedi tenggelamnya kapal wisata Phoenix yang menewaskan 47 turis Tiongkok pada 2018, pemerintah Thailand merombak sistem pengawasan wisata bahari. Mereka membentuk unit Tourist Police yang bertugas khusus menangani keselamatan wisatawan, serta mewajibkan pelatihan keselamatan bagi operator wisata di kawasan-kawasan populer seperti Phuket, Krabi, dan Pattaya. Langkah ini bukan hanya mengurangi insiden, tetapi juga membantu memulihkan kepercayaan pasar wisata Tiongkok yang sempat turun drastis pascainsiden. Kini, Thailand dikenal sebagai negara yang cepat dalam menanggapi krisis wisatawan dan memiliki hotline darurat wisata 1155 yang aktif 24 jam dalam berbagai bahasa.

Sementara itu, Selandia Baru sebagai salah satu destinasi utama wisata alam dan petualangan, seperti skydiving, arung jeram, dan pendakian gunung, menerapkan sistem lisensi ketat bagi penyedia jasa wisata ekstrem. Semua operator wajib memiliki rencana keselamatan yang diaudit berkala oleh Adventure Activities Regulations, lembaga pengawas independen. Tak hanya itu, pemerintah menyediakan platform AdventureSmart.nz yang memberikan panduan keselamatan berdasarkan lokasi, aktivitas, dan musim. Hasilnya, meskipun jumlah kunjungan meningkat tiap tahun, angka kecelakaan fatal di sektor wisata petualangan berhasil ditekan hingga kurang dari 0,2 kasus per 100.000 pengunjung.

Ketiga negara ini menunjukkan bahwa keamanan wisata bukanlah hambatan untuk berkembang, melainkan kunci untuk tumbuh berkelanjutan. Reputasi sebagai negara yang aman untuk dikunjungi menjadi daya tarik tersendiri di tengah pasar global yang makin sadar akan pentingnya pengalaman wisata yang bertanggung jawab dan bebas risiko. Mereka yang pulang dengan selamat dan puas, bukan hanya kembali berkunjung, tapi juga menjadi promotor alami bagi negara tersebut.

Menjadikan safety tourism sebagai pilar berarti bahwa setiap perencanaan destinasi—baik pembangunan fasilitas, promosi wisata, hingga pelibatan Masyarakat harus mempertimbangkan aspek keselamatan secara menyeluruh: sebelum, saat, dan sesudah kunjungan.

Pemetaan Tipologi Destinasi dan Risiko: Menyesuaikan Strategi dengan Karakter Wisata

Saatnya Indonesia membangun pendekatan baru: pariwisata berbasis keselamatan (safety-based tourism). Pemerintah perlu menjadikan aspek keamanan dan kenyamanan pengunjung sebagai indikator utama keberhasilan pariwisata, bukan hanya pendapatan daerah atau target kunjungan. Hal yang tidak boleh luput dari perhatian bahwa setiap tempat wisata di Indonesia memiliki tantangan dan risiko yang berbeda-beda. Sehingga, pendekatan untuk menjaga keamanan wisatawan juga tidak bisa disamaratakan. Berikut adalah beberapa jenis tempat wisata dan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan keamanannya secara realistis dan terukur:

  1. Wisata Alam Ekstrem (seperti gunung, hutan, atau gua)

Tempat-tempat ini memiliki risiko tinggi karena jauh dari permukiman dan sulit dijangkau jika terjadi kecelakaan. Sehingga hal yang dapat dilakukan:

  • Membuat sistem pendaftaran online bagi para pendaki atau pengunjung, agar mereka terdata dan bisa dipantau jika terjadi keadaan darurat.
  • Menyiapkan pos pengawasan di titik-titik tertentu, terutama jalur yang ramai atau berbahaya.
  • Pemberdayaan masyarakat lokal dengan pelatihan dasar pertolongan pertama dan evakuasi, karena mereka yang paling dekat dan bisa bertindak cepat.
  • Melengkapi lokasi wisata dengan peringatan dini berbasis sensor cuaca atau geologi (untuk cuaca buruk atau aktivitas gunung api).
  1. Wisata Bahari dan Pulau-Pulau Kecil

Laut memiliki keindahan sekaligus bahaya yang tidak selalu terlihat, seperti arus bawah atau cuaca ekstrem. Hal yang dapat dilakukan:

  • Menetapkan aturan yang jelas kapan kegiatan laut harus dihentikan jika cuaca memburuk, dan pastikan semua operator wisata mengikuti aturan ini.
  • Menyediakan alat komunikasi yang bisa digunakan dalam kondisi darurat di laut, seperti radio atau perangkat darurat lainnya.
  • Memastikan setiap perjalanan antarpulau tercatat, agar jika terjadi sesuatu, penanganan bisa lebih cepat.
  • Membangun titik evakuasi atau pos darurat di pulau-pulau wisata utama.
  1. Wisata Kota dan Budaya (seperti kota tua, cagar budaya, museum)

Tempat ini cenderung ramai dan bisa memunculkan masalah jika tidak dikelola dengan baik. Hal-hal kecil yang perlu diperhatikan:

  • Menyiapkan jalur keluar-masuk yang jelas dan petugas yang siap membantu jika terjadi kepadatan atau kepanikan.
  • Menyediakan papan informasi dan rambu dalam beberapa bahasa agar wisatawan asing tidak kebingungan.
  • Menyiapkan titik pertolongan pertama atau pos kesehatan sederhana di tempat-tempat strategis.
  1. Wisata Komersial (seperti taman bermain, wahana air, resort)

Meskipun biasanya wisata komersil lebih terorganisir, tapi tetap butuh pengawasan agar tidak lengah. Sehingga, hal yang perlu mendapatkan perhatian:

  • Melakukan pengecekan rutin terhadap wahana dan fasilitas—tidak hanya saat dibuka, tetapi secara berkala.
  • Memastikan operator atau staf di tempat wisata dilatih untuk menangani kondisi darurat ringan.
  • Membuat prosedur tanggap darurat sederhana, misalnya bagaimana mengevakuasi pengunjung jika listrik padam atau ada kebakaran.
  • Memberikan ruang bagi pengunjung untuk menyampaikan laporan jika mereka merasa tidak aman atau menemukan hal yang berisiko.

Dengan tipologi ini, pemerintah daerah maupun pelaku wisata dapat menyesuaikan investasi kebijakan dan teknologinya secara tepat sasaran. Pendekatan ini juga bisa menjadi dasar dalam menyusun Tourism Safety Index nasional yaitu indikator keamanan wisata yang bisa menjadi syarat bagi destinasi unggulan atau syarat untuk menerima insentif fiskal dari pemerintah pusat.

Pemetaan destinasi wisata berdasarkan tipologi dan risiko adalah salah satu strategi konkret untuk menerapkan prinsip safety tourism secara terarah dan efisien. Alih-alih membuat standar yang sama untuk semua tempat wisata, pendekatan ini memungkinkan setiap daerah untuk memahami risiko khas masing-masing destinasi, menentukan langkah-langkah pengamanan yang tepat sasaran sesuai karakter wilayah, jenis wisata, dan kapasitas lokal, sert mengalokasikan sumber daya secara efektif baik pelatihan, peralatan, maupun kelembagaan di tempat yang benar-benar membutuhkan. Dengan demikian, pemetaan ini tidak hanya menjadi alat teknis, tetapi juga kerangka kerja kebijakan yang mendukung pengambilan keputusan berbasis risiko dan bukti (evidence-based policy).

Safety Tourism sebagai Investasi Reputasi

Membangun sistem keamanan wisata bukanlah pengeluaran semata, melainkan investasi jangka panjang bagi citra Indonesia sebagai destinasi kelas dunia. Dunia saat ini semakin sensitif terhadap isu keselamatan dan kenyamanan. Wisatawan internasional tidak hanya mencari keindahan alam atau kekayaan budaya, tetapi juga kepastian bahwa mereka akan pulang dengan selamat.

Dengan menempatkan “safety tourism” sebagai pilar utama pengelolaan pariwisata, Indonesia tidak hanya melindungi wisatawannya, tetapi juga memperkuat kepercayaan global. Reputasi sebagai negara yang aman untuk dikunjungi akan mendatangkan manfaat berlipat: kunjungan yang terus meningkat, durasi tinggal yang lebih lama, hingga meningkatnya rekomendasi dari wisatawan kepada dunia.

Saat kita berani berubah, dunia akan lebih berani datang.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT